Minggu, 22 April 2012

Hari Bumi, Aktivis Tuntut Penutupan Pasar Burung
Perdagangan burung kakatua jambul kuning dari Pulau Seram dan Kepulauan Tanimbar, Provinsi Maluku, masih marak. Burung kakatua yang dilindungi undang-undang ini dijual sekitar Rp 500.000 per ekor di pasar burung di Ambon dan Dobo. Pengawasan terhadap perburuan dan perdagangan satwa dilindungi di Maluku masih lemah.

JAKARTA - Aktivis dari berbagai lembaga swadaya masyarakat yang tergabung dalam Liga Anti Perdagangan Satwa (LAPS) menggelar aksi di Monumen Nasional dan Bundaran Hotel Indonesia Jakarta, Minggu (22/4/2012).
Dalam aksi yang dilakukan untuk memperingati Hari Bumi tersebut, aktivis LAPS meminta pemerintah serius menangani perdagangan satwa liar serta menutup pasar burung.
"Memperingati Hari Bumi, kita harus sadar tentang pentingnya pelestarian alam, satwa. Sekarang yang berperan besar dalam kepunahan satwa adalah pasar burung," ungkap Rejeki Marsudiyani dari Animal Friend Yogya.
Yani yang khusus datang dari Yogyakarta bersama rekannya untuk melakukan aksi ini mengungkapkan, berbagai macam satwa liar diperjualbelikan di pasar burung, mulai elang, monyet dan ular.
"Semakin banyak pasar burung, semakin banyak satwa yang diperjualbelikan. Ada banyak pembeli, maka makin banyak juga orang yang cari satwa di hutan untuk dijual," kata Yani saat ditemui di Bundaran HI, hari ini.
Yani menegaskan, "Pasar burung seperti Ngasem kalau di Jogja itu harus ditutup." Dengan cara tersebut, perdagangan satwa liar bisa dikurangi dan kelestarian alam terjaga.
Ia mengakui, penutupan pasar burung memang akan merugikan beberapa pihak, seperti masyarakat yang punya mata pencaharian sebagai penjual satwa. Tapi, kerugian itu dinilai tak sebesar kerugian kehilangan satwa liar.
"Hanya sebagian saja yang kita rugikan. Bumi lebih besar dari yang kita rugikan. Bumi memberi manfaat lebih banyak. Kalau tidak dilakukan, anak cucu kita yang akan rugi," papar Yani.