Kamis, 26 April 2012

Tampil Cantik Tak Harus Bunuh Satwa
Empat wanita asal Malang yang ikut serta melakukan demo yang digelar ProFauna Indonesia di Malang, Jawa Timur Kamis (26/4/2012). Mereka mengkampanyekan wanita bisa tampil cantik tidak harus membunuh satwa liar. 

MALANG - Di tengah maraknya bagian tubuh satwa liar yang dijadikan bahan perhiasan bagi wanita dan juga untuk kerajinan, Profauna Indonesia, menggelar kampanye bertema "Tampil Cantik Tanpa Membunuh Satwa Liar" di Kota Malang, Jawa Timur, Kamis (26/4/2012).
Kampanye yang dimotori ProFauna itu diperagakan oleh empat model cantik asal Malang, di atas trotoar di Jalan Veteran, Kota Malang, sekira pukul 10.30 WIB, dengan membentangkan spanduk bertuliskan "Tampil Cantik Tanpa Membunuh Satwa Liar".
Menurut Rosek Nursahid, Ketua ProFauna Indonesia, kampanye dilakukan tidak hanya di Malang, namun, di beberapa kota besar di Indonesia.
"Tujuannya untuk mengajak masyarakat khususnya kaum wanita agar turut serta membantu pelestarian satwa liar," jelasnya.
Kampanye tersebut menyerukan agar para wanita tidak membeli perhiasan atau kerajinan yang mengandung bagian tubuh satwa.
"Bagian satwa yang sering digunakan untuk kerajinan dan perhiasan adalah sisik penyu," katanya.
Berdasarkan hasil survei ProFauna jelas Rosek, yang marak penjualan perhiasan atau kerajinan yang mengandung sisik penyu adalah di Jakarta, Bali, Yogyakarta, Banyuwangi, dan Pangandaran.
"Kerajinan itu dalam bentuk gelang, kalung, kipas, kotak tempat perhiasan, dan anting-anting," beber Rosek,
Konsumen perhiasan dari bagian tubuh satwa itu adalah wanita. "Sungguh tidak beradab jika ada seorang yang mempercantik dirinya namun dengan membunuh satwa liar. Karena untuk mengambil sisik penyu itu, pasti membunuhnya," katanya.
Padahal, kata Rosek, dalam UU Nomor 5 tahun 1990 tentang konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan ekosistem jelas penyu dilindungi.
"Bagi yang membunuh penyu untuk perhiasan maka diancam hukuman penjara 5 tahun dengan denda Rp 100 juta," tegasnya.
Selain itu, Rosek mengatakan, ProFauna mengajak kaum wanita untuk tidak membeli perhiasan dari bahan bagian tubuh penyu.
"Selain itu, kami juga mengajak kaum wanita untuk tidak membeli satwa liar seperti kukang, burung nuri, elang, primata dan jenis satwa liar lainnya," ajak Rosek.
Kalau kaum wanita yang berjumlah 127 juta jiwa di Indonesia, melestarikan satwa liar, maka akan lebih baik.
"Apalagi wanita punya kedekatan dengan anak atau keluarga sehingga punya peluang besar untuk mendidik anaknya agar turut peduli melestarikan satwa liar yang ada di Indonesia," katanya.

Rabu, 25 April 2012

Kamera Pengintai Macan Tutul Rusak
 Macan tutul


SUKABUMI — Tiga dari enam kamera pengintai macan tutul (Panthera pardus) di kawasan Taman Nasional Gunung Gede Pangrango, Jawa Barat, rusak akibat ulah tangan jahil. Kamera tersebut digunakan untuk memantau keberadaan dan populasi satwa dilindungi itu.
"Pada tahun 2010 terpantau 56 ekor macan tutul di zona inti taman nasional. Mereka terpantau melalui enam kamera pengintai yang tersebar dalam radius 1.000 hingga 2.000 hektar. Saat ini tiga dari enam kamera kami dirusak tangan jahil sehingga mengganggu pemantauan," kata Kepala Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (TNGGP) Agus Wahyudi, Rabu (25/4/2012), di Sukabumi, Jawa Barat.
Agus akan mengusahakan pengadaan sepuluh unit kamera baru yang bakal disebar dalam radius 10.000 hektar. Kamera baru itu akan dipasang di wilayah Lido, Kabupaten Bogor. "Sebagian besar macan tutul yang sudah terekam memang berada di sekitar wilayah perbatasan Kabupaten Sukabumi dan Bogor," ungkapnya.
Agus yakin populasi macan tutul sudah lebih dari 56 ekor. Pasalnya, sejumlah foto yang terekam beberapa waktu terakhir menunjukkan ciri-ciri yang berbeda daripada sebelumnya. Agus menyebutkan, ciri-ciri yang terlihat adalah corak tutul yang lebih besar, dan juga ada yang warna tutulnya lebih pekat.
TNGGP mencakup wilayah Kabupaten Sukabumi, Kabupaten Cianjur, dan Kabupaten Bogor, dengan luas areal mencapai 22.851 hektar. Selain macan tutul, taman ini juga menjadi rumah bagi beberapa satwa dilindungi lainnya, seperti elang jawa (Nisaetus bartelsi), owa jawa (Hylobates moloch), dan surili (Presbytis comata).

Selasa, 24 April 2012

Orangutan Rawa Tripa Terancam Punah Akhir 2012
Orangutan Sumatera (Pongo abelii). 


DEPOK - Ian Singleton, Direktur Konservasi Program Konservasi Orangutan Sumatera mengatakan bahwa orangutan yang ada di Rawa Trip, Aceh, terancam punah dalam waktu dekat.
"Jika aktivitas perusakan seperti konversi lahan terus berlanjut, maka orangutan di Rawa Tripa akan habis akhir tahun 2012," kata Singleton saat ditemui dalam diskusi diadakan Pusat Riset Perubahan Iklim, Universitas Indonesia, Selasa (24/4/2012).
Singleton mengatakan bahwa banyak perusahaan kelapa sawit yang membuka lahan di Tripa sebagai perkebunan. Pembukaan lahan bahkan dilakukan di kawasan konservasi dengan pembakaran.
Pembukaan hutan mengakibatkan orangutan Sumatera (Pongo abelii) di wilayah setempat terganggu. Banyak orangutan mengalami kematian akibat habitat yang dirusak.
Praktek pembunuhan orangutan juga dilakukan. Sebagian dilakukan dengan sadis, seperti menjerat leher orangutan tanpa bius dan melakukan penembakan hingga 62 kali ke satu individu orangutan.
"Populasi orangutan 2 tahun lalu tinggal 300 ekor. Dalam 12 bulan terakhir sudah berkurang 100 ekor. Jadi populasi saat ini diperkirakan 200 ekor," ungkap Singleton.
Menurut Singleton, upaya konsevasi habitat harus dilakukan di wilayah Rawa Tripa untuk menjaga kelestarian orangutan. "Sekarang harus stop konversi," tegas Singleton.
Singleton mengatakan bahwa habitat Rawa Tripa sangat penting bagi orangutan. Kawasan ini merupakan kawasan orangutan Sumatera yang terpadat di dunia. Delapan ekor orangutan dijumpai per km persegi.
"Rawa Tripa adalah ibukota orangutan," terangnya.
Orangutan yang tinggal di Rawa Tripa memiliki kecerdasan tinggi. Mereka mampu menggunakan alat untuk mencari makanan, melubangi sarang lebah untuk mendapatkan madu serta memecahlan buah yang berkulit keras.
"Kita akan sangat kehilangan kalau orangutan ini sampai punah," kata Singleton.

Senin, 23 April 2012

Terumbu Karang Perairan Komodo Terancam
 Terumbu karang di kawasan Tatawa Besar, Pulau Komdo, rusak setelah diledakkan oleh nelayan ilegal. Foto diambil pada 20 Maret 2012.

PULAU KOMODO - Kawasan perairan kaya terumbu karang yang masuk di wilayah Taman Nasional Komodo terancam. Kantor berita AP, Jumat (20/4/2012), melaporkan bahwa  aktivitas nelayan ilegal yang menangkap ikan dengan bahan peledak menghancurkan terumbu karang yang ada.

AP yang memawancarai operator selam dan pegiat lingkungan melaporkan bahwa pemerintah Indonesia tidak melakukan perlindungan yang cukup bagi wilayah yang dikenal dengan kadal raksasa Komodo itu.

Michael Ishak, instruktur scuba dan fotografer bawah laut profesional yang telah berkunjung ke perairan ini ratusan kali mengatakan bahwa jumlah nelayan ilegal pada tahun ini lebih banyak dibanding tahun-tahun sebelumnya.

Ishak yang kembali ke perairan ini bulan lalu menuju tempat favoritnya, Tatawa Besar, menjumpai fakta bahwa terumbu karang seluas 500 meter persegi lenyap. Padahal, wilayah itu menyimpan keragaman hayati yang tinggi. Banyak juga wilayah kecil-kecil lain yang dihancurkan.

"Pertama, saya pikir, ini tak benar. Saya pasti berada di tempat yang salah," kata Ishak yang sampai harus memastikan berkali-kali bahwa ia memang mengamati wilayah yang biasa diselami sebelumnya.

"Tapi ternyata itu benar. Semua koral keras baru saja diledakkan, hancur, berjatuhan. Beberapa diantaranya masih hidup. Saya tak pernah melihat ini sebelumnya," ungkap Ishak seperti dikutip AP, Jumat.

Wilayah perairan yang kaya terumbu karang itu seharusnya dilindungi. Namun, banyak nelayan yang datang untuk berburu ikan seperti kerapu dan kakap. nelayan datang dengan perahu kecil dengan jaring. beberapa lainnya menggunakan "peledak" campuran minyak tanah dan pupuk di botol bir.

Bernafas dengan tabung yang dihubungkan pada kompresor di permukaan, nelayan muda biasanya menyelam ke lautan untuk menyemprotkan sianida, kemudian menyetrum dan menangkap ikan yang ada di terumbu karang.

Jos Pet, ilmuwan perikanan yang berpengalaman bekerjasama dengan pegiat konservasi mengatakan, "Masalah terbesar adalah nelayan bebas menuju Komodo, mengabaikan zonasi dan peraturan tentang pengambilan sumber daya. Mudah mencari ikan di wilayah warisan dunia ini."

Sementara, memberikan tanggapan, Sustyo Iriyono dari Taman nasional Komodo mengatakan bahwa masalah yang ada terlalu dibesar-besarkan. Ia juga menampik klaim longgarnya pengawasan atau penegakan hukum.

Iriyono menuturkan, penjaga sudah menahan 60 nelayan ilegal selama 2 tahun terakhir, termasuk dua nelayan muda yang ditangkap bulan lalu setelah dijumpai menggunakan bom untuk menangkap ikan di wilayah barat perairan.

Salah satu tersangka tertembak dan terbunuh setelah berusaha melarikan diri dengan melempar bom ikan pada penjaga. Sementara, tiga orang lain, termasuk salah satunya remaja usia 13 tahun, mengalami luka ringan.

"Anda lihat. Tak ada yang bisa mengatakan bahwa saya tidak bertidak dalam melawan mereka yang menghancurkan daerah selam ini," kata Iriyono. Menurutnya, kawasan tersebut adalah salah satu area yang terus dimonitor.

Selama dua dekade, The Nature Conservancy telah membantu mengurangi praktek perikanan tak ramah lingkungan. Zona Larang Tangkap ditetapkan sementara daerah pemijahan dan pesisir juga ikut dilindungi.

Tahun 2005, pemerintah memberikan izin pada Putri Naga Komodo, joint venture yang juga didanai oleh TNC dan World bank untuk mengoperasikan fasilitas wisata. Wisata diharapkan membuat taman nasional bisa mandiri dana.

Dengan 30.000 visitor internasional dan lokal, taman nasional bisa mendapatkan budget 1 miliar dollar. Sayangnya, pejabat pemerintah menginginkan dana langsung masuk ke pusat. Persetujuan dihentikan dan izin Putri naga Komodo ditarik.

Operator selam telah meinta TNC dan organisasi lain seperti WWF Indonesia untuk kembali ke Komodo dan membantu upaya konservasi. Namun, Arwandridja Rukma dari TNC menuturkan bahwa pihaknya hanya akan ikut serta dalam proyek jika atas undangan pemerintah.

Minggu, 22 April 2012

Hari Bumi, Aktivis Tuntut Penutupan Pasar Burung
Perdagangan burung kakatua jambul kuning dari Pulau Seram dan Kepulauan Tanimbar, Provinsi Maluku, masih marak. Burung kakatua yang dilindungi undang-undang ini dijual sekitar Rp 500.000 per ekor di pasar burung di Ambon dan Dobo. Pengawasan terhadap perburuan dan perdagangan satwa dilindungi di Maluku masih lemah.

JAKARTA - Aktivis dari berbagai lembaga swadaya masyarakat yang tergabung dalam Liga Anti Perdagangan Satwa (LAPS) menggelar aksi di Monumen Nasional dan Bundaran Hotel Indonesia Jakarta, Minggu (22/4/2012).
Dalam aksi yang dilakukan untuk memperingati Hari Bumi tersebut, aktivis LAPS meminta pemerintah serius menangani perdagangan satwa liar serta menutup pasar burung.
"Memperingati Hari Bumi, kita harus sadar tentang pentingnya pelestarian alam, satwa. Sekarang yang berperan besar dalam kepunahan satwa adalah pasar burung," ungkap Rejeki Marsudiyani dari Animal Friend Yogya.
Yani yang khusus datang dari Yogyakarta bersama rekannya untuk melakukan aksi ini mengungkapkan, berbagai macam satwa liar diperjualbelikan di pasar burung, mulai elang, monyet dan ular.
"Semakin banyak pasar burung, semakin banyak satwa yang diperjualbelikan. Ada banyak pembeli, maka makin banyak juga orang yang cari satwa di hutan untuk dijual," kata Yani saat ditemui di Bundaran HI, hari ini.
Yani menegaskan, "Pasar burung seperti Ngasem kalau di Jogja itu harus ditutup." Dengan cara tersebut, perdagangan satwa liar bisa dikurangi dan kelestarian alam terjaga.
Ia mengakui, penutupan pasar burung memang akan merugikan beberapa pihak, seperti masyarakat yang punya mata pencaharian sebagai penjual satwa. Tapi, kerugian itu dinilai tak sebesar kerugian kehilangan satwa liar.
"Hanya sebagian saja yang kita rugikan. Bumi lebih besar dari yang kita rugikan. Bumi memberi manfaat lebih banyak. Kalau tidak dilakukan, anak cucu kita yang akan rugi," papar Yani.

Jumat, 20 April 2012

Orangutan Korban Jerat Berhasil Diselamatkan
Lengan Orangutan korban jerat dusun Pelansi, Desa Kuala satong, Kabupaten Ketapang, Kalimantan barat 

JAKARTA - Seekor orangutan ditemukan terjerat di kawasan dusun Pelansi, Desa Kuala Satong, Kabupaten Ketapang, Kalimantan Barat pada Jumat (6/4/2012). Orangutan itu berumur 13 -15 tahun dan berjenis kelamin jantan.

Orangutan ditemukan berdasarkan laporan masyarakat pada yayasan IAR Indonesia lewat telepon. Berdasarkan informasi masyarakat, orangutan yang ditemukan sudah terjebak selama 7 - 10 hari. Semula, masyarakat takut untuk melaporkannya.

Berdasarkan laporan Petrus Kanisius dari Yayasan Palung yang diterima Kompas.com, Kamis(18/4/2012), saat ditemukan orangutan dalam kondisi kritis. Lengan sebelah kanan orangutan itu telah membusuk dan nyaris putus karena terlalu lama terjerat.

Orangutan mengalami infeksi saat terjerat. Infeksi telah menyebar ke bagian tubuh akibat septicemia ditandai demam tinggi. Suhu tubuh orangutan mencapai 40 derajat Celsius. Orangutan kini telah diselamatkan dan diberi infus serta antibiotik.

Sayangnya, orangutan terancam kehilangan satu tangannya. Bagian lengan yang telah membusuk harus diamputasi. Amputasi akan dilakukan setelah kondisi orangutan cuiup stabil.

Data Yayasan IAR Indonesia, Yayasan Palung dan Yayasan Flora Fauna Indonesia (FFI) menyebutkan bahwa pada tahun 2010, ada 12 individu yang diselamatkan, 2011 sebanyak 22 individu sera 2012 hingga kini telah ada empat individu.

Untuk menangani masalah orangutan, ketiga LSM tersebut menyebutkan pentingnya mitigasi konflik, survei habitat sebelum penggunaan lahan, kerjasama antar LSM dan perguruan tinggi dan pemahaman bahwa kandang transit orangutan bukan tempat penampuangan orangutan dari perusahaan.

Orangutan kali ini ditemukan di lokasi yang bersebelahan dengan kawasan kebuh kelapa sawit PT. Kayong Agro Lestari (KAL). Sejak tahun 2006, sudah ada lima individu yang ditemukan di kawasan perusahaan tersebut.

Selain itu, 2 individu orangutan juga ditemukan di kawasan PT. Limpah Sejahtera, dua individu dari PT. Harita (pertambangan), 1 individu dari PT. Andes Sawit Lestari, 1 individu dari PT. Gunajaya Ketapang Sentosa.

Rabu, 18 April 2012

Alih Fungsi Hutan Desak Populasi Gajah Kerdil Borneo
JAKARTA- Organisasi konservasi WWF Indonesia dalam penelitiannya sejak tahun 2007 hingga 2011 mengungkap keberadaan gajah borneo (Elephas maximus borneensis) dengan perkiraan populasi sementara pada kisaran  20-80 individu di wilayah utara Kalimantan Timur yang berbatasan langsung dengan Sabah, Malaysia.
Namun, perambahan hutan untuk perkebunan kelapa sawit yang terus terjadi menyebabkan semakin berkurangnya habitat serta wilayah jelajah gajah Borneo.
Hilangnya habitat hutan wilayah jelajah gajah Borneo, membuat satwa yang kerap dijuluki "Borneo pygmy elephant" atau gajah kerdil Borneo tersebut terdesak, sehingga kemudian memicu adanya konflik antara manusia dan gajah.
Data WWF menunjukkan bahwa dari 2005 hingga 2007 tercatat sekitar 16.000 tanaman sawit milik masyarakat dan perusahaan perkebunan rusak dimakan gajah. Dari hasil pemantauan, tahun 2005 hingga 2009 terdapat 11 desa yang rawan konflik gajah. Semua desa-desa tersebut  berada di Kabupaten Nunukan, Kalimantan Timur.
Untuk mengurangi risiko konflik gajah, khususnya di Kecamatan Tulin Onsoi, Kabupaten Nunukan, WWF Indonesia bekerjasama dengan Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Kaltim dan Pemerintah Kabupaten Nunukan membantu memfasilitasi pembentukan anggota Satuan Tugas (satgas) mitigasi konfik gajah yang anggotanya terdiri dari masyarakat setempat. Tugas utama Satgas adalah melakukan pencegahan dan penanggulangan konflik gajah.
"WWF Indonesia mengharapkan adanya dukungan operasional serta pendampingan dari pemerintah dan pihak swasta kepada anggota Satgas gajah tersebut," kata Agus Suyitno, Staff Mitigasi Konflik Gajah WWF Indonesia di Nunukan, Rabu (18/4/2012).
"Pemerintah dan semua pihak terkait diharapkan dapat mempertahankan hutan habitat gajah yang tersisa, agar konflik tidak bertambah besar," tambah Agus.
Selain melakukan kerjasama dengan masyarakat, pemerintah dan LSM, WWF juga bekerjasama dengan perusahaan-perusahaan konsesi yang beroperasi di wilayah habitat gajah untuk pengembangan dan implementasi rencana pengelolaan konservasi gajah, yang terintegrasi dalam pengelolaan konsesi secara berkelanjutan.
Survei WWF-Indonesia tahun 2010 dan 2011 memfokuskan kegiatan di wilayah konsesi hutan alam PT Adimitra Lestari yang dilewati oleh sungai-sungai utama di Kabupaten Nunukan seperti Sungai Agison, Sibuda, Tampilon, Apan, dan merupakan habitat terakhir serta jalur lintasan gajah Borneo di wilayah Indonesia.
Survei bertujuan memantau keberadaan gajah di habitat utamanya, sehingga informasi terbaru mengenai kondisi habitat, populasi dan pergerakannya dapat diketahui.
"Peran serta pihak swasta dalam pengelolaan habitat satwa dilindungi, khususnya di areal konsesi yang dimilikinya, menjadi kunci keberhasilan upaya perlindungan gajah Borneo," ujar Anwar Purwoto, Direktur Program Kehutanan, Spesies dan Air Tawar, WWF-Indonesia.

Kamis, 12 April 2012

Hanya 30 Persen Terumbu Karang dalam Kondisi Baik
Kondisi terumbu karang di sisi timur perairan Pulau Tangah, Kota Pariaman, Sumatera Barat, Minggu (22/1/2012) yang relatif ditutupi sedimen didominasi terumbu karang jenis Montipora sp. dengan bentuk hidup lembaran daun (foliose). Dominannya terumbu karang jenis itu disebabkan kondisi ekstrem perairan yang membuat relatif tidak beragamnya jenis terumbu karang yang bisa hidup. 

MANADO — Kondisi terumbu karang di Indonesia cukup memprihatinkan akibat kerusakan di sejumlah kawasan Indonesia timur dan tengah. Padahal, sebagian terumbu karang di Indonesia yang mencapai 60.000 kilometer persegi berada di kedua wilayah itu.
Hal itu terungkap dalam Workshop Segitiga Terumbu Karang di Manado, Sulawesi Utara, Kamis (12/4/2012). Kegiatan yang dilaksanakan oleh Balai Taman Nasional Bunaken itu diikuti sejumlah pemerhati terumbuh karang dari sejumlah daerah di Indonesia timur.
Ari Rondonuwu dari Fakultas Perikanan dan Kelautan Universitas Sam Ratulangi, yang melansir data Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), menyebutkan, hanya 30 persen terumbu karang dalam kondisi baik, 37 persen dalam kondisi sedang, dan 33 persen rusak parah.
Pemantauan terumbu karang dilakukan di 77 daerah yang tersebar dari Sabang hingga Kepulauan Raja Ampat. "Data ini mencemaskan mengingat posisi Indonesia sebagai pemimpin Coral Triangle Initiative (CTI) dari enam negara yang memiliki terumbu karang," kata Ari. Enam negara anggota CTI adalah Indonesia, Malaysia, Filipina, Papua Niugini, Kepulauan Solomon, dan Timor Leste. Sekretariat CTI berada di Manado.
Sebagian besar terumbu karang dunia, sekitar 55 persen, terdapat di Indonesia, Filipina, dan Kepulauan Pasifik; 30 persen di Lautan Hindia dan Laut Merah; 14 persen di Karibia; dan 1  persen di Atlantik Utara.
Meyti Mondong dari Conservation International Indonesia mengungkapkan, kerusakan terumbu karang dilakukan oleh oknum warga pesisir yang menangkap ikan menggunakan bom dan potasium. Hal itu terlihat di banyak daerah di Indonesia timur.
Ia juga menyebut pesisir dan laut di Raja Ampat menghadapi ancaman dari aktivitas daratan yang kurang memperhatikan ekosistem laut. Sejumlah pembangunan jalan lingkar pulau dan pelabuhan tidak cukup menyediakan jalur hijau sebagai penyangga sedimentasi ke laut.
Menurut Meity, diperlukan solusi menahan laju kerusakan terumbu karang dengan meningkatkan pengawasan di laut serta sosialisasi terus-menerus terhadap warga pesisir akan pentingnya terumbu karang dalam kehidupan manusia.
Fungsi terumbu karang adalah sebagai tempat tinggal serta tempat berkembang biak dan mencari makan ribuan jenis ikan, hewan, dan tumbuhan laut. Terumbu karang juga merupakan pelindung ekosistem pantai karena akan menahan dan memecah energi gelombang sehingga mencegah terjadinya abrasi dan kerusakan di sekitarnya.
Diperkirakan setiap terumbu karang yang sehat dapat menghasilkan 25 ton ikan per tahun. Sekitar 300 juta orang di dunia menggantungkan nafkahnya pada terumbu karang.

Rabu, 11 April 2012

Ke Indonesia Demi Owa
 Aurelien Brule

Kecintaan Aurelien Brule kepada owa tumbuh sejak dia berusia 12 tahun. Pria yang akrab disapa Chanee ini tidak hanya mengobservasi dan menulis buku tentang owa, tetapi juga memutuskan untuk bermukim di Indonesia demi melestarikan owa. 
Pria berusia 32 tahun itu mengaku enggan bermukim kembali di negeri asalnya, Perancis, demi melestarikan owa di Indonesia. Sebelumnya, selama bertahun-tahun sejak berusia 12 tahun, ia kerap mengunjungi kebun binatang di kawasan tempat tinggalnya, Distrik Var, Perancis.
Waktu libur sekolah digunakan Chanee untuk menghimpun berbagai informasi dan mencatat pengamatannya terhadap hewan primata, termasuk owa. Semua hal itu kemudian dibuatnya menjadi buku berjudul Le Gibbon a Mains Blanches (Owa Tangan Putih).
Penerbit pun terkagum-kagum ketika Chanee yang saat itu remaja berusia 16 tahun mengajukan naskah buku tersebut. Catatan itu dikumpulkannya dari observasi di kebun binatang yang dia lakukan sekitar tiga tahun.
Ia bercerita, jarak kebun binatang dengan rumahnya sekitar 30 kilometer. Begitu asyiknya, Chanee bisa menghabiskan delapan jam mengamati aneka satwa sejak kebun binatang itu buka hingga tutup pukul 17.00.
Di kebun binatang itulah kecintaan Chanee terhadap owa mulai tumbuh. Awalnya ia senang mengamati semua primata. Chanee mengenang, ia pertama kali melihat owa secara langsung pada Mei 1992.
”Kenapa senang owa, saya pun tak tahu. Perasaan itu tumbuh dengan sendiri. Tetapi, saya memang terpana saat melihat langsung owa,” ujarnya. Namun, antusiasmenya itu perlahan berubah menjadi rasa iba.
Menurut dia, owa sering kali harus tinggal sendiri. Padahal, owa seharusnya punya pasangan. Oleh karena itulah, hasratnya untuk melihat langsung owa di hutan begitu besar.
Sampai suatu hari aktris Muriel Robin membaca artikel mengenai buku karya Chanee. Robin terkesan dan bersedia menyokong dana agar Chanee bisa bertolak ke Thailand untuk melihat langsung owa di habitat asli. Di Thailand dia mendapatkan nama Chanee, yang artinya owa dalam bahasa Thailand.
”Saya ke Thailand karena urusannya paling gampang. Senang sekali melihat owa hidup di alam. Tiga bulan saya di sana,” ujarnya.
Chanee kemudian mengetahui bahwa jenis owa paling banyak terdapat di Indonesia. Di dunia ada 17 jenis owa dan Indonesia punya tujuh jenis di antaranya.
”Semua jenis owa di dunia terancam punah. Saya lalu memutuskan pergi ke Indonesia,” ujarnya.
Dalam perjalanan ke Indonesia, Chanee membaca berita tentang kebakaran hutan di Indonesia. Niatnya beraktivitas di Indonesia pun kian besar. Ia tiba pada Mei 1998 saat kerusuhan dan isu pergantian pemerintahan menghebat. Namun, tekadnya melestarikan owa menaklukkan kerisauan itu.
Kalaweit
Chanee lalu mendirikan lembaga untuk melestarikan owa. Ia mengajukan izin membentuk yayasan bernama Kalaweit yang berbasis di Kalimantan Tengah. Kalaweit artinya owa dalam bahasa Dayak Ngaju.
Proses mendirikan yayasan memerlukan waktu sekitar sembilan bulan. Pegawai Kementerian Kehutanan pun terheran-heran melihat anak muda yang tak lancar berbahasa Indonesia ini mengurus izin tersebut.
”Bahasa Inggris saja saya belum fasih. Apalagi waktu itu sedang pergantian presiden. Jadi, proses perizinan cukup sulit,” katanya.
Chanee pergi ke berbagai tempat dengan transportasi umum karena keterbatasan dana. Setiap dua bulan dia juga harus bolak-balik ke Singapura untuk memperpanjang visa. Kegigihan itu membuahkan hasil.
”Mungkin karena pegawai Kementerian Kehutanan bosan melihat saya hampir setiap hari, makanya izin diberikan, ha-ha-ha,” ujarnya.
Kini Yayasan Kalaweit mempekerjakan 52 karyawan lokal. Selain owa, mereka juga tak menolak satwa lain, seperti kera, piton, kukang, buaya, bekantan, dan beruang madu.
Kalaweit melakukan tiga aktivitas. Pertama, satwa yang dipelihara warga diusahakan kembali ke alam. Kedua, pelestarian habitat owa dengan mendirikan tempat perlindungan owa seluas 8 hektar di Kabupaten Barito Utara, Kalimantan Tengah.
”Kami juga membantu apa pun yang bisa dikerjakan untuk menjaga Cagar Alam Pararawen seluas 5.300 hektar di Barito Utara,” katanya.
Ketiga, petugas Kalaweit berusaha mendekati pemilik satwa untuk melepaskan peliharaannya. Petugas mengimbau agar satwa liar tak ditangkap. Jika sedang berpatroli dan menemukan jerat, mereka menghancurkannya.
Selain itu, Kalaweit yang bekerja sama dengan Pemerintah Kota Palangkaraya sejak tahun 2007 juga berupaya melestarikan kawasan konservasi Hampapak seluas 700 hektar.
Tempat perlindungan owa juga dibuat di Kabupaten Solok, Sumatera Barat, sembilan tahun lalu. Ini membuat program Kalaweit menjadi pelestarian owa terbesar di dunia. Total 250 owa hidup di tempat perlindungan di Kalimantan Tengah dan Sumatera Barat.
Radio dan internet
Tahun 2003 Chanee melakukan sosialisasi dengan mendirikan Radio Kalaweit berfrekuensi FM 99,1 di Palangkaraya. Ia juga berbagi informasi mengenai owa dan kegiatan yayasan lewat situs internet beralamat www.kalaweit.org.
”Siaran radio kami tak melulu soal owa karena tak ada lagu bisa membuat radio ini tidak ada pendengarnya. Siaran kami mengutamakan hiburan, dengan menyisipkan pesan menyayangi satwa,” katanya.
Pengaruh radio ternyata besar. Sebagian besar satwa yang diserahkan kepada Yayasan Kalaweit di Jalan Pinus, Palangkaraya, berasal dari pendengar.
Chanee mengakui tugasnya tak ringan. Aktivitasnya membuat waktu yang tersisa untuk keluarga terbatas. Apalagi aktivitas dan siaran Chanee demi mempertahankan kelestarian alam menimbulkan ketidaksukaan beberapa pihak yang merasa terganggu.
”Ancaman saya terima lewat surat, telepon, sampai bertemu pelaku. Pernah ada orang datang ke kantor dengan membawa pisau,” ujarnya.
Namun, iming-iming imbalan agar kegiatan pelestarian itu dihentikan hingga ancaman pembunuhan tak menyurutkan niat Chanee melestarikan owa.
Keinginan lainnya yang belum terpenuhi adalah menjadi warga negara Indonesia. ”Saya juga ingin menjadi warga Indonesia. Sudah empat tahun saya mengurusnya, tetapi belum berhasil, cukup susah,” katanya.