Jumat, 30 Maret 2012

Murah Atau Mahal, Energi Harus Dihemat
ILUSTRASI
JAKARTA - Kampanye Earth Hour di Indonesia akan memuncak Sabtu (31/3/2012). Istimewanya, perayaan kali ini berbarengan dengan rencana kenaikan harga BBM dan demonstrasi penolakannya.

Nyoman Iswarayoga, Direktur Program Energi dan Iklim WWF Indonesia, mengatakan bahwa dua momen tersebut harus menjadi kesempatan bagi masyarakat untuk berpikir tentang penghematan energi.

"Murah ataupun mahal, energi tetap harus dihemat. Efisiensi energi itu harga mati," tegasnya saat dihubungi Kompas.com, Jumat (30/3/2012).

Menurut Nyoman, penghematan energi tidak berkaitan dengan harga. Jika energi murah, tak berarti masyarakt bisa boros. Penghematan energi perlu dilakukan sebab sumber dayanya memang terbatas.

Dalam upaya penghematan energi, peran individu dan rumah tangga sangat penting, selain sektor industri. Karenanya, setelah perayaan Earth Hour, individu berperan dalam melanjutkan sebagai gaya hidup.

Earth Hour di Indonesia tahun ini dirayakan untuk keempat kalinya. Sejumlah 26 kota terlibat perayaan ini. Masyarakat diminta mematikan lampu dan alat listrik yang tak diperlukan pukul 20.30-21.30 WIB.

Bentuk penghematan energi yang bisa dijadikan gaya hidup individu antara lain menggunakan alat listrik seperlunya, memakai angkutan umum dan bersepeda ataupun berajalan jika jarak dekat.

Pemerintah sendiri punya PR terkait transportasi untuk mendukung hemat energi. "Pemerintah harus mewujudkan transportasi publik yang aman dan nyaman," ungkap Nyoman.

Selasa, 27 Maret 2012

Inilah Area Terbesar untuk Pelepasliaran Orangutan
Bayi orang utan Kalimantan (pongo pygmaeus pygmaeus) yang baru berumur 1,5 bulan berada dalam gendongan induknya, Dina (14 tahun) di dalam kandang penangakaran Taman Safari Indonesia (TSI) II Prigen, Kabupaten Pasuruan, Jawa Timur, Senin (13/12/2010). Kelahiran bayi satwa endemik asli Indonesia berjenis kelamin betina tersebut menambah populasi orang utan di TSI menjadi 24 ekor.

JAKARTA PT Kayung Agro Lestari (KAL), anak usaha PT Austindo Nusantara Jaya Agri (ANJ Agri), akan menyerahkan lahannya sekitar 3.400 hektar di Kabupaten Ketapang, Kalimantan Barat (Kalbar), untuk dijadikan kawasan konservasi.
Kawasan konservasi ini direncanakan untuk menampung pelepasliaran 40 orangutan oleh Balai Konservasi Sumber Daya Alam Kalbar (BKSDA Kalbar), yang sejauh ini merupakan area terbesar bagi pelepasliaran orangutan di Indonesia.
Dalam siaran pers yang diterima, Selasa (27/3) di Jakarta, Direktur Public Affairs ANJ Agri Sucipto mengatakan, berdasarkan pemantauan BKSDA Kalbar dan studi yang dilakukan oleh Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada pada akhir 2011, pada wilayah hutan produksi konversi (HPK) seluas 17.987 hektar, yang telah dicadangkan untuk pembangunan perkebunan kelapa sawit PT KAL di Kabupaten Ketapang, Kalbar, terdapat wilayah yang bisa dijadikan hutan bernilai konservasi tinggi (high conservation value atau HCV).
Menurut penelitian Universitas Gadjah Mada (UGM), distribusi orangutan merata di seluruh kawasan seluas lebih dari 3.400 hektar itu, yaitu rata-rata tiga individu per kilometer. Selain orangutan, berdasarkan hasil penelitian dari UGM, di area PT KAL yang akan menjadi kawasan konservasi tersebut terdapat lebih kurang 30 jenis satwa liar, termasuk beruang madu, rusa sambar, kucing kuwuk, lutung dahi putih, dan berbagai spesies burung.

Kamis, 22 Maret 2012

Tomcat Tidak Menyerang Manusia
 Serangga Tomcat yang memproduksi racun paederin, menyebabkan dermatitis.
BOGOR, — Munculnya kumbang tomcat di perumahan warga Surabaya karena habitatnya yang mulai terusik akibat pembangunan.
"Saya belum mengetahui pasti posisi lokasi apartemen tersebut apakah berada di sekitar persawahan atau bukan. Tapi yang pasti, kenapa banyak terdapat di sana bisa jadi wilayah itu merupakan habitatnya," kata pakar serangga dari Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor (IPB), Prof Aunu Rauf MSc, di Bogor, Rabu (21/3/2012).
Aunu mengatakan, perlu dilakukan pengecekan langsung lokasi perumahan warga yang mengalami serangan tomcat tersebut untuk memastikan apakah ledakan populasi dipicu oleh keberadaan permukiman di kawasan habitat hewan tersebut.
Menurut Aunu, ada beberapa kemungkinan yang bisa menjelaskan terjadinya ledakan (outbreak) kumbang tomcat ini, di antaranya terjadi peningkatan populasi kumbang tomcat menjelang berakhirnya musim hujan (sebelumnya masih dalam stadia larva dan pupa). Pada saat yang bersamaan terjadi kegiatan panen sehingga kumbang tomcat beterbangan dan bergerak menuju ke tempat datangnya sumber cahaya di permukiman.
"Pada malam hari kumbang Paederus fuscipes aktif terbang dan tertarik pada cahaya lampu. Inilah sebetulnya yang sekarang terjadi di kompleks apartemen di Surabaya," katanya.
Ia menjelaskan, binatang yang disebut tomcat ini sebetulnya adalah hewan sejenis kumbang dengan nama ilmiah Paederus fuscipes. Kumbang Paederus fuscipes berkembang biak di dalam tanah di tempat-tempat yang lembab, seperti di galengan sawah, tepi sungai, daerah berawa, dan hutan.
Telurnya diletakkan di dalam tanah, begitu pula larva dan pupanya hidup dalam tanah. Setelah dewasa barulah serangga ini keluar dari dalam tanah dan hidup pada tajuk tanaman.
Siklus hidup kumbang dari sejak telur diletakkan hingga menjadi kumbang dewasa sekitar 18 hari, dengan perincian stadium telur 4 hari, larva 9 hari, dan pupa 5 hari. Kumbang dapat hidup hingga 3 bulan. Seekor kumbang betina dapat meletakkan telur sebanyak 100 butir telur.
"Bisa jadi permukiman dibangun di wilayah tempat perkembangbiakan kumbang tomcat, misalnya di dekat persawahan atau di pinggiran dekat hutan yang lembab atau tempat berawa. Pada kondisi ini kumbang pada malam hari akan berdatangan ke perumahan karena tertarik cahaya lampu," katanya.
Lebih lanjut, Aunu mengatakan, masyarakat tidak perlu terlalu khawatir dengan ledakan populasi tomcat ini karena kumbang tomcat tidak menggigit atau menyengat.
Tetapi, kumbang tomcat kalau terganggu atau secara tidak sengaja terpijit akan mengeluarkan cairan yang bila kena kulit akan menyebabkan gejala memerah dan melepuh seperti terbakar (dermatitis). Gejala ini muncul akibat cairan tubuh kumbang tadi mengandung zat yang disebut pederin yang bersifat racun.
Aunu mengatakan, ada yang menyebutkan bahwa pederin ini 15 kali lebih beracun daripada bisa kobra. Belakangan ini diketahui bahwa produksi pederin dalam tubuh kumbang tergantung pada keberadaan bakteri Pseudomonas sp. yang bersimbiosis dalam tubuh kumbang betina.
Pederin bersirkulasi dalam darah kumbang sehingga dapat terbawa sampai ke keturunannya (telur, larva, pupa, dan kumbang). Namun demikian, kumbang betina yang mengandung bakteri akan menghasilkan pederin yang lebih banyak dibandingkan kumbang yang dalam tubuhnya tidak ada bakteri simbion.
Aunu mengatakan, kumbang ini jangan dimusnahkan karena bermanfaat bagi petani. Penyemprotan di rumah juga tidak perlu dilakukan karena lebih berisiko terhadap kesehatan penghuninya.
Untuk menghindari serangannya, dengan cara halaulah kumbang ini agar menjauh dari rumah dengan mematikan lampu, atau memungutnya secara hati-hati dengan kantong kertas dan lepaskan ke habitatnya (sawah atau tempat lembab lainnya).
Masyarakat juga tidak perlu khawatir dengan kejadian tersebut karena outbreak kumbang tomcat seperti terjadi di Surabaya pernah pula dilaporkan terjadi di negara lain, seperti di Okinawa-Jepang (1966), Iran (2001), Sri Lanka (2002), Pulau Pinang Malaysia (2004 dan 2007), India Selatan (2007), dan Irak (2008).
"Memang sesekali kumbang datang ke permukiman karena tertarik cahaya lampu, dan mengganggu kenyamanan penghuninya. Namun demikian, jangan sampai 'pengabdian setiap hari' kepada petani oleh kumbang ini terhapus oleh perilakunya datang ke permukiman yang hanya sesekali terjadi," ujarnya.

Senin, 19 Maret 2012

AMAN Minta Peninjauan UU No 14/1999 tentang Kehutanan
 
Kepala Desa Muara Tae Masrani Teran berjalan di lokasi hutan adat yang telah dibabat di Kecamatan Jempang, Kabupaten Kutai Barat, Kalimantan Timur, Senin (23/1) sore. Sebagian lahan adat yang luasnya mencapai 638 hektar itu diserobot oleh salah satu perusahaan sawit. Kondisi ini mengakibatkan warga Muara Tae kehilangan mata pencarian. 

JAKARTA - Sekretaris Jenderal Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), Abdon Nababan, bersama-sama dengan dua komunitas masyarakat adat anggota AMAN, mendaftarkan pengujian UU Nomor 41/1999 tentang Kehutanan ke Mahkamah Konstitusi, di Jakarta, Senin (19/3/2012).

"Permohonan ini diajukan karena selama lebih dari 10 tahun berlakunya, UU Kehutanan telah terbukti sebagai alat negara untuk mengambilalih wilayah-wilayah adat untuk dijadikan sebagai hutan negara. Pengusiran biasanya disertai dengan tindakan kekerasan oleh aparat keamanan," kata Nababan, saat tiba gedung Mahkamah Konstitusi.

Dia datang bersama dua komunitas anggota AMAN, yaitu Kasepuhan Cisitu dan Kenegerian Kuntu. Rombongan AMAN yang datang mendaftarkan peninjauan produk hukum formal itu berjumlah lebih dari 50 orang dan mengenakan atribut dan pakaian adat masing-masing.

AMAN berpandangan, UU Kehutanan telah menyebabkan ketidakpastian hak bagi masyarakat adat atas wilayah adatnya. Hal ini akhirnya melahirkan kemiskinan bagi masyarakat adat itu sendiri.

"Padahal, hak masyarakat adat atas wilayah adat merupakan hak yang bersifat turun-temurun. Hak ini bukanlah hak yang diberikan negara kepada masyarakat adat melainkan hak bawaan, yaitu hak yang lahir dari proses mereka membangun peradaban di wilayah adatnya," kata Nababan.

Tinjauan kembali atas UU Kehutanan harus dilakukan, karena menurut AMAN, UU itu bertentangan dengan tujuan pembentukan NKRI sebagaimana termuat dalam paragraf keempat Pembukaan UUD 1945.

Secara khusus, UU Kehutanan bertentangan dengan tujuan pengakuan terhadap masyarakat adat sebagaimana termuat dalam pasal 18B ayat (2) UUD 1945. Pengakuan terhadap masyarakat adat dalam UUD 1945 merupakan pengakuan terhadap kenyataan sosial, dalam NKRI terdapat kelompok masyarakat yang memiliki susunan asli, dan segala peraturan perundang-undangan harus mengingat hak asal-usul pada kelompok masyarakat seperti itu.

Artinya, pengakuan tersebut adalah pengakuan atas keseluruhan dari tiga aspek pada masyarakat adat, yaitu aspek manusia sebagai individu dan kelompok, pengakuan atas wilayah adat dan sumber daya alam termasuk hutan, serta pengakuan atas tata aturan masyarakat tersebut.

Kamis, 15 Maret 2012

Konservasi Lahan Basah Penting bagi Burung Air
ILUSTRASI
JAKARTA - Lahan basah di Indonesia terus menyusut akibat penggunaannya sebagai area pertanian, pemukiman, dan tambak. Ini sangat disayangkan sebab lahan basah memiliki fungsi ekologis.
Dwi Mulyawati, Bird Conservation Officer Burung Indonesia, kepada Kompas.com, Kamis (15/3/2012), mengatakan, "Lahan basah merupakan habitat penting bagi keperluan hidup burung-burung air penetap maupun pengembara."
Habitat lahan basah seperti mangrove penting bagi burung jenis Cangak (Ardea sp.), bangau (Ciconidae), atau pecuk (Phalacrocoracidae). Area ini memberi burung rasa aman dari pemanga.
Wilayah mangrove juga penting bagi kuntul (Egretta sp.) untuk tempat bertengger dan mencari makan serta bagi terutama Charadriidae dan Scolopacidae sebagai tempat beristirahat.
Lahan basah yang penting bagi burung penetap misalnya area hutan rawa air tawar dan gambut. Mentok rimba (Cairina scutulata) dan Bangau storm (Ciconia stormi) memanfaatkan sebagai tempat mencari makan dan berkembangbiak.
Sementara itu, hutan rawa rumput disukai burung dari keluarga keluarga Ardeidae, Anatidae, Rallidae, dan Jacanidae. Di daerah Tulang Bawang, Lampung, tercatat ribuan ekor Blekok sawah (Ardeola speciosa), Cangak merah (Ardea purpurea), Kuntul besar (Casmerodius albus), dan Kowak-malam abu (Nycticorax nycticorax) berkoloni sarang pada rimbunan rumput gelagah.
Saat ini, 49 daerah penting bagi burung di Indonesia yang berpotensi sebagai tempat persinggahan burung telah diidentifikasi. Wilayah itu mampu mendukung 20.000 burung air atau 10.000 burung laut. Salah satu wilayah penting adalah Semenanjung Sembilang dan Banyuasin di pantai timur Sumatera. Wilayah ini menjadi persinggahan burung yang mengembara dari Asia Timur ke Australia.
Menurut Dwi, beragamnya burung yang memanfaatkan lahan basah seharusnya menjadi dorongan untuk melestarikan kawasan ini. Ke depan, pelestariannya tak hanya berfungsi untuk konservasi, tetapi juga bisa menyokong kebutuhan manusia akan makanan, bahan baku industri dan obat.

Senin, 12 Maret 2012

Harimau Korban Jerat Diduga Hamil
Dua dari 12 individu harimau Sumatera yang terakam kamera otomatis yang dipasang WWF dan PHKA di Bukit Tigapuluh, Jambi. 
BENGKULU— Harimau sumatera (Panthera tigris sumatrae) yang menjadi korban jerat dan ditemukan di Hutan Produksi Air Rami pada 15 Februari yang lalu kini kondisinya sudah mulai stabil.
Hal ini dikatakan Kepala Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Bengkulu, Amon Zamora, Senin (12/3/2012). Kondisi harimau mulai membaik setelah mendapatkan perawatan dari tim kesehatan. Dua jari kaki harimau sebelah kanan dan tiga jari kaki kiri terpaksa diamputasi karena membusuk.
Kini ada masalah baru. Harimau tersebut diduga sedang mengandung atau malah baru saja melahirkan.
"Kami mencurigai dari kondisinya ada kemungkinan sedang hamil atau baru melahirkan," kata Amon.
"Karena dari ciri-ciri fisiknya. Kalau baru melahirkan paling tidak umur anaknya baru dua bulan, atau sebaliknya sedang hamil karena puting susu dan perutnya membesar," katanya menerangkan.
Dua kemungkinan sudah diantisipasi dengan menurunkan tim ke lokasi di mana harimau betina yang kemudian dinamai Dara itu ditemukan tim akan mencari keberadaan anakan untuk memperoleh kepastian.
Jika dugaan keberadaan anaknya terbukti alias harimau tersebut baru saja melahirkan, maka anakan akan turut dievakuasi untuk perawatan hingga usianya memungkinkan untuk mencari mangsa sendiri.
Pencarian akan dilakukan walaupun ada kemungkinan harimau anakan dijaga oleh pejantan atau ayahnya.
"Tim sudah turun ke lapangan dan akan melakukan penyisiran dalam radius lima kilometer, mudah-mudahan ada kabar baik," kata Amon.
Diberitakan sebelumnya, Dara ditemukan oleh tim khusus penyelamatan satwa dari Bengkulu Utara dan Mukomuko pada tanggal 15 Februari 2012. Saat ditemukan, Dara mengalami dehidrasi dan kakinya terjerat.
Proses evakuasi tidak mudah karena sulitnya medan. Dara baru berhasil dibawa ke kantor BKSDA pada tanggal 20 Februari 2012.
Tindakan operasi kemudian dilakukan karena jari kaki yang sudah mulai membusuk.
"Operasi pertama dilakukan di lokasi terkena jerat, operasi kedua di dalam perjalanan, dan operasi ketiga dilakukan setelah berada di kantor kita," jelas Amon.
Sampai saat ini, Amon mengatakan tetap berkoordinasi dengan Kementerian Kehutanan tentang kondisi Dara dan sampai saat ini belum diputuskan lokasi yang akan ditetapkan sebagai tempat tinggalnya.

Jumat, 09 Maret 2012

Kawanan Gajah Liar Digiring ke Habitatnya
 Iring-iringan gajah sumatera (Elephas maximus sumatranus) di pusat Pelatihan Gajah, Way Kambas, Lampung, Jumat (6/11). Way Kambas saat ini memiliki 62 ekor gajah.

ACEH JAYA - Tim Conservation Reponse Unit (CRU) Kabupaten Aceh Jaya menggiring kawanan gajah liar yang selama ini memasuki pemukiman penduduk di Desa Cot Dulang, Kecamatan Jaya. Kawanan gajah liar itu digiring dengan empat ekor gajah jinak.
"Sudah satu ekor gajah dewasa yang telah kami giring kembali ke habitatnya, kami juga masih menyelusuri jejak kawanan gajah liar lainnya yang selama ini merusak tanaman pertanian dan perkebunan warga," kata Koordinator lapangan tim CRU Andi Aswinsyah di Aceh Jaya, Kamis (8/3/2012).
Menurut Andi, untuk menggiring kembali kawanan gajah liar itu, CRU Aceh Jaya menurunkan 20 orang personel dari BKSDA, pawang (mahout), polisi hutan (polhut) dan dibantu aparat TNI Kodim 0114 Aceh Jaya serta empat gajah jinak yang didatangkan dari Saree Kabupaten Aceh Besar dan CRU Aceh Jaya.
Didampingi CRU Aceh Jaya Fendra, ia mengatakan sejak 6 Maret 2012 tim telah menyisir daerah perbukitan dan pengunungan yang selama ini menjadi kawasan jelajah kawanan gajah liar di pedalaman Kecamatan Jaya itu.
Selain di desa Cot Dulang, kawanan gajah liar selama ini juga berkeliaran di daerah lainnya seperti Alue Meuh, Senangprong, Medang Gong Kuala Unga, Sabet dan Sango Kabupaten Aceh Jaya.

Kamis, 08 Maret 2012

Satu Lagi Gajah Sumatera Ditemukan Mati
Gajah sumatera 
PEKANBARU - Seekor gajah Sumatera (Elephas maximus sumatranus) kembali ditemukan mati di Kabupaten Pelalawan, Provinsi Riau.
"Lokasi gajah mati ini ditemukan tak jauh dari bangkai gajah pertama yang ditemukan belum lama ini," kata Humas WWF Program Riau, Syamsidar, Kamis (8/3/2012).
Sebelumnya, seekor gajah Sumatera liar ditemukan mati oleh warga Desa Pangkalan Gondai, Kecamatan Langgam, Kabupaten Pelalawan pada Selasa lalu (6/3/2012). Lokasinya berada di tepi sungai di kawasan hutan yang tak jauh dari Taman Nasional Tesso Nilo (TNTN).
Menurut Syamsidar, lokasi penemuan bangkai gajah kedua berjarak sekitar 400 meter dari tempat pertama. Keduanya sama-sama ditemukan dekat dengan sungai.
Gajah Sumatera tersebut ditemukan tim survei WWF yang melakukan penyisiran di sekitar penemuan bangkai gajah pertama. Gajah ini ditemukan dengan posisi badan masuk ke dalam air. Temuan langsung dilaporkan ke Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (BBKSDA) Provinsi Riau untuk ditindaklanjuti.
Menurut Syamsidar, gajah kedua yang mati mungkin berasal dari kawanan gajah yang pertama. Gajah tersebut mungkin tewas karena diracuni.
Dengan kematian gajah ini, sudah ada dua gajah Sumatera yang mati di Riau pada tahun 2012 ini. Jumlah populasi gajah Sumatera di Sumatera kini diperkirakan tinggal 400 ekor, dimana jumlah di Riau mencapai sekitar 200 ekor.

Rabu, 07 Maret 2012

Wakatobi Akan Jadi Cagar Biosfer Dunia
 Penyelaman di Wakatobi.
WANGI WANGI — Wilayah Kabupaten Wakatobi, Provinsi Sulawesi Tenggara, segera ditetapkan menjadi kawasan cagar biosfer dunia oleh UNESCO.
”Badan PBB yang menaungi bidang pendidikan dan kebudayaan itu akan bersidang menetapkan Wakatobi sebagai kawasan cagar biosfer dunia di Paris pada April 2012,” kata Bupati Wakatobi Hugua, Rabu (7/3/2012).
Menurut Hugua, ada tiga kepentingan yang dilindungi UNESCO dalam menetapkan Wakatobi sebagai pusat cagar biosfer dunia, yakni kearifan lokal masyarakat Wakatobi, kelestarian lingkungan, dan kepentingan ekonomi masyarakat yang berkelanjutan.
Ia mengatakan, kearifan lokal yang dilindungi di Wakatobi menyangkut tradisi budaya masyarakat Wakatobi dalam memperlakukan alam dan mengambil sesuatu dari Tuhan.
”Masyarakat Wakatobi sangat menghargai alam sekitar karena alam dengan segala kemurahannya menyediakan segala sumber kehidupan manusia cukup berkelimpahan,” katanya.
Sedangkan kelestarian lingkungan perlu dilindungi karena kawasan perairan laut Wakatobi memiliki keragaman terumbu karang dan biota laut yang cukup tinggi dibandingkan dengan kawasan-kawasan lain yang ada di dunia.
”Jumlah spesies terumbu karang di perairan laut Wakatobi mencapai 750 spesies dari 850 spesies terumbu karang dunia. Di Laut Karibia yang banyak dikunjungi wisatawan terutama penyelam, hanya memiliki 50 spesies terumbu karang, sedangkan Laut Merah hanya 300 spesies,” katanya.
Menurut Hugua, kawasan perairan laut Wakatobi dengan luas sekitar 1,5 juta hektar menyimpan potensi sumber daya alam perairan laut, sekitar 90 persen dari total potensi sumber daya kelautan yang ada di seluruh dunia.
Sedangkan kepentingan ekonomi yang perlu dilindungi adalah bagaimana masyarakat di kawasan Wakatobi dapat memanfaatkan potensi sumber daya alam yang ada secara berkelanjutan tanpa mengganggu keseimbangan lingkungan.
Pemerintah Indonesia sendiri melalui Kementerian Kehutanan sejak tahun 1996 sudah menetapkan kawasan perairan laut Wakatobi seluas 1,3 juta hektar sebagai kawasan Taman Laut Nasional Wakatobi.
Namun, dengan status taman laut nasional, yang dilindungi hanya kelestarian alam bawah laut Wakatobi, sedangkan masyarakat dan kepentingan ekonomi berkelanjutan tidak mendapat perlindungan.
”Dengan status sebagai pusat cagar biosfer dunia, minimal melindungi tiga kepentingan, yakni kearifan lokal masyarakat, kelestarian lingkungan, dan kepentingan ekonomi berkelanjutan,” kata Hugua.

Kamis, 01 Maret 2012

Greenpeace Tuding APP Tebang Tanaman Dilindungi
 Kayu bahan baku kertas yang bercampur dengan kayu ramin, spesies tanaman dilindungi berdasarkan CITES.
JAKARTA - Organisasi Greenpeace menuding perusahaan kertas Asia Pulp and Paper yang bernaung di bawah Sinarmas Group menghancurkan kayu ramin, spesies tanaman dilindungi berdasarkan Convention on International Trade in Endangered Species (CITES).
Dalam konferensi pers, Kamis (1/3/2012) di Jakarta, Greenpeace menyatakan bahwa fakta tersebut didapatkan setelah investigasi yang berlangsung selama 1 tahun pada 2011 dengan mengunjungi pabrik Indah Kiat di Perawang, Sumatera.
Di tempat tersebut, Greenpeace mengambil sampel dari 46 gelondong kayu dan mengirimkannya ke sebuah laboratorium independen di Jerman. Hasil penelitian laboratorium menunjukkan bahwa sampel yang diambil mengandung ramin.
"Greenpeace menangkap basah Asia Pulp and Paper. Investigasi ini telah jelas-jelas menunjukkan bahwa mereka menggunakan ramin ilegal," ujar Bustar Maitar, Kepala Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia.
Greenpeace menunjukkan bahwa APP melakukan penebangan hutan gambut, termasuk menebang ramin. Sejak tahun 2001, di mana penebangan ramin dilarang, setidaknya APP telah menghancurkan 180.000 hektar hutan atau dua kali luas Jakarta.
Sejumlah pihak yang menggunakan kertas APP, di antaranya vendor IT terkemuka di dunia yang juga memasarkan produknya di Indonesia, retail, dan food beverage dinilai Greenpeace juga terlibat dalam perusakan hutan.
Penghancuran hutan, menurut Greenpeace, tidak hanya mengurangi populasi ramin yang saat ini makin langka. Penebangan juga mengancam populasi Harimau Sumatera yang kini tinggal 400 ekor dan juga terancam oleh aktivitas perburuan.
Berdasarkan hasil temuan, Bustar mengharapkan APP melakukan perbaikan pada usahanya. Ia mengharapkan APP menghentikan penebangan dan tidak menggunakan kayu ramin, menjaga hutan alam yang tersisa serta berkomitmen menggunakan kayu hasil plantation.
"Perusahaan yang bernaung di bawah Sinarmas, Golden Agri Resources, sudah berkomitmen untuk tidak merusak gambut, melakukan Free Prior Infirm Concern (FPIC) pada masyarakat dan melindungi lahan bernilai konservasi tinggi. Kalau perusahaan Sinarmas lain bisa, harusnya APP juga bisa," jelas Bustar.
Menanggapi pernyataan Greenpeace, Aida Greenbury, Direktur Sustainibility APP, mengatakan bahwa APP tidak melakukan penebangan, tidak menggunakan spesies tanaman dilindungi, serta memiliki sistem lacak-balak yang baik untuk mendeteksi adanya spesies kayu dilindungi.
"Tapi kami tetap berterima kasih pada Greenpeace dan akan menindaklanjuti temuan ini dengan investigasi. Kita akan lihat apakah ada ramin. Lihat juga pada koordinat penemuan serta membaca lagi laporan Greenpeace," ungkap Aida saat dihubungi hari ini.