Kamis, 10 Mei 2012

Wakatobi Jadi Cagar Biosfer Dunia
 
 Penyelaman di Wakatobi.
WANGI-WANGI — Badan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang mengurus masalah pendidikan dan kebudayaan, UNESCO, menetapkan kawasan Taman Nasional (TN) Laut Wakatobi, Sulawesi Tenggara (Sultra), sebagai salah satu kawasan cagar biosfer dunia yang ada di Indonesia, tanpa syarat.

Bupati Wakatobi, Hugua, di Wangi-Wangi, Kamis, mengatakan, UNESCO menetapkan kawasan TN Wakatobi seluas 1,3 juta hektar menjadi cagar biosfer dunia itu bersama 12 cagar biosfer lainnya di dunia.

Menurut Hugua, penetapan Wakatobi sebagai cagar biosfer dunia itu disepakati pada pertemuan "Penasihat Internasional Committee untuk Biosphere Reserve Program MAB UNESCO" ke-18 di Paris tanggal 2-4 April 2012.

"Pada pertemuan itu, ada 26 daerah yang dibahas menjadi cagar biosfer dunia, namun yang setujui hanya 13 daerah, termasuk Wakatobi, sedangkan lima daerah lainnya diterima dengan catatan dan lima daerah lainnya ditolak," ujarnya.

Ia mengatakan, dengan ditetapkannya Wakatobi sebagai cagar biosfer dunia, maka cagar biosfer di Indonesia pada Juli tahun 2012 akan menjadi sebanyak delapan daerah.

Menurut Hugua, ada tiga kepentingan yang dilindungi UNESCO dalam menetapkan TN Wakatobi sebagai pusat cagar biosfer dunia tersebut, yaitu kearifan lokal masyarakat Wakatobi, kelestarian lingkungan, dan kepentingan ekonomi masyarakat yang berkelanjutan.

"Kearifan lokal yang dilindungi di Wakatobi adalah menyangkut tradisi budaya masyarakat dalam memperlakukan alam dan mengambil sesuatu dari alam," katanya.

Sedangkan kelestarian lingkungan perlu dilindungi karena kawasan perairan laut TN Wakatobi memiliki keragaman terumbu karang dan biota laut yang cukup tinggi dibandingkan dengan kawasan-kawasan lain yang ada di dunia.

Jumlah spesies terumbu karang di perairan laut Wakatobi mencapai 750 spesies dari 850 spesies terumbu karang dunia. Di Laut Karibia yang banyak dikunjungi wisatawan, terutama penyelam, hanya memiliki 50 spesies terumbu karang, sedangkan Laut Merah hanya 300 spesies.

Untuk kepentingan ekonomi yang perlu dilindungi, menurut Hugua, bagaimana masyarakat di kawasan Wakatobi dapat memanfaatkan potensi sumber daya alam yang ada secara berkelanjutan, tanpa mengganggu keseimbangan lingkungan.

"Tiga kepentingan itu yang mendorong pihak UNESCO menjadikan kawasan perairan laut TN Wakatobi sebagai pusat cagar biosfer dunia," katanya.

Selasa, 08 Mei 2012

Hiu Raja Ampat Terancam
 
 Pemandangan gugusan pulau di Wayag, yang merupakan jantung dari wisata Raja Ampat, di Papua Barat, Minggu (23/10). Selain menyelam, wisatawan dapat menikmati keindahan bawah laut dengan snorkeling atau sekadar berenang. Tidak hanya itu, fauna endemik seperti burung cenderawasih dan maleo dapat diamati di sini.
JAKARTA - Populasi hiu di Raja Ampat Terancam dengan aksi perburuan oleh nelayan ilegal yang berasal dari luar kawasan.

Bukti perburuan hiu nyata. Pada 30 April 2012, masyarakat adat kampung Salyo dan Selpele serta Pos Angkatan Laut Waisai menahan 33 nelayan ilegal yang berburu hiu di kawasan itu.

Tim patroli menyita sirip hiu, bangkai ikan hiu, pari manta dan teripang yang bernilai 1,5 miliar rupiah. Hasil tangkapan dan dokumen kapal disita. Sayangnya, nelayan ilegal berhasil melarikan diri dan kini masih dalam pengejaran.

Ada tujuh kapal yang digunakan untuk perburuan hiu. Satu kapal berasal dari Buton, dua kapal berasal dari Sorong dan empat kapal berasal dari Kampung Yoi, Halmahera. Tak satu pun berasal dari Raja Ampat.

"Ini adalah kasus ketiga sejak 2005 dan juga kasus terbesar," kata Ketut Sarjana Putra, Direktur Conservation International (CI) Indonesia.

Ketut yang dihubungi Kompas.com, Selasa (8/5/2012) mengungkapkan, besarnya kasus kali ini dinilai dari jumlah awak kapal yang terlibat perburuan serta jumlah hasil tangkapan.

Menurut Ketut, kasus ini mencerminkan bahwa populasi hiu di Raja Ampat kembali menghadapi ancaman.

Sebelum tahun 2005, hiu di Raja Ampat diburu habis-habisan. Masyarakat setempat mengatakan bahwa hiu sudah dulit dijumpai, bahkan ada yang mengatakan sudah tidak ada.

"Saat ini, populasi hiu sudah mulai kembali. Tapi dengan adanya perburuan ini, hiu kembali terancam," tutur Ketut.

Raja Ampat memiliki potensi pariwisata hiu sebesar Rp 165 miliar per tahun dan menyumbang pendapatan daerah sebesar Rp 2,5 miliar per tahun. Hiu menjadi salah satu alasan wisatawan datang ke Raja Ampat.

Ketut memaparkan, jika populasi hiu kembali menurun dan sulit dijumpai, kerugian dari sisi pariwisata akan bernilai miliaran rupiah juga.

"Kita juga mengalami kerugian dari sisi keseimbangan ekosistem. Hiu ini top predator. Gangguan populasinya juga akan berpengaruh pada ekosistem," ungkap Ketut.

Terkait kasus lolosnya pemburu hiu baru-baru ini, Ketut menuturkan, pemerintah telah mengirimkan bantuan dengan menempatkan polisi patroli dan pos Angkatan Laut di Pulau Sayang, Raja Ampat. Pemerintah juga telah menempatkan polisi perairan di Pulau Wayag sejak 4 Meu 2012.

Namun demikian, Ketut menjelaskan bahwa pemerintah perlu mengambil tindakan lebih tegas untuk penyelamatan Raja Ampat. Jumlah awak patroli di Raja Ampat harus ditambah dan harus dilakukan patroli rutin. pemerintah juga mesti mendukung upaya masyarakat adat dalam memantau lautnya.

Senin, 07 Mei 2012

Populasi Orangutan Sumatera Makin Kritis
 Pongo pygmaenus abelii alias Orangutan Sumatera
BANDA ACEH — Aktivis Yayasan Ekosistem Lestari menyebutkan, populasi orangutan (Pongo pygmaenus abelii) di Sumatera tinggal 200 ekor. Ini sudah sangat mengkhawatirkan dan penyebabnya adalah kerusakan habitat primata dilindungi itu.

"Pada tahun 2000-an populasi orangutan di wilayah Sumatera di atas 1.000, tetapi pada 2012 ini sudah di bawah 200 karena sebagian besar sudah punah akibat lingkungan mereka dirusak," kata pengacara lingkungan hidup YEL Aceh, Halim, di Meulaboh, Senin (7/5/2012).

Keberadaan orangutan terbesar di kawasan hutan gambut Rawa Tripa di Kabupaten Nagan Raya dan Aceh Barat Daya, Provinsi Aceh. Namun, selama ini kawasan itu disembunyikan keberadaannya karena ada pihak tertentu akan mencoba merusak habitat mereka.

"Selama ini informasi itu ditutupi karena akan ada pembukaan lahan baru di kawasan ini," katanya.

Halim mengatakan, selama ini isu yang digembar-gemborkan adalah keberadaan orangutan di Bukit Lawang, Langkat, Sumatera Utara, padahal kawasan itu hanya merupakan sebagian kecil populasi primata ini.

Ditambahkan, akibat alih fungsi lahan dari hutan gambut Rawa Tripa menjadi perkebunan sawit mulai dari Aceh Singkil hingga Kabupaten Nagan Raya, populasi Orangutan terus menyusut karena habitat mereka sudah dirusak orang tidak bertanggung jawab.

Jumat, 04 Mei 2012

Ironi, Pembantaian Orangutan
 Tengkorak Orangutan
JAKARTA - Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Kalimantan Tengah dan Pusat Reintroduksi Orangutan Nyarumenteng telah mengevakuasi 221 orangutan akibat pembabatan hutan yang dilakukan perusahaan kelapa sawit pada Maret 2003 sampai Juni 2006.

"Tim juga telah mendokumentasikan korban kekejaman dan kejahatan terhadap orangutan yang dilakukan staf perusahaan, perusahaan kontraktor, pekerja dan masyarakat setempat," kata Anggota Centre of Orangutan Protection (COP) Hardi Baktiantoro di Jakarta, Jumat (4/5/2012).

Menurut Hardi, pembantaian yang dilakukan oleh orang yang tidak bertanggung jawab itu sungguh ironi. Banyak orangutan yang dikubur hidup-hidup, dibakar, dibacok, dipukul hingga berujung pada kematian.

Padahal, lanjut dia, orangutan adalah salah satu jenis satwa liar paling dilindungi oleh hukum Indonesia dan mendapatkan simpati yang luas dari masyarakat internasional. Ironisnya, orangutan justru tidak terlindungi dengan baik.

"Di Kalimantan Timur tepatnya aliran sungai Katingan merupakan habitat 1.600 sampai 2.000 orangutan, ini harus segera diselamatkan, kalau tidak hewan yang dilindungi itu akan menuju kepunahan di daerah Kalimantan," katanya.

Mengenai populasi orangutan di Indonesia, kata Hardi, Indonesia memang belum memiliki data yang pasti, karena data-data ini masih dilakukan oleh beberapa lembaga riset dan banyak dilakukan oleh organisasi non-pemerintah seperti Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dan lembaga riset dari pihak asing. 

Kamis, 03 Mei 2012

Karst di Luar Kawasan Lindung Lebih Terancam
Sungai bawah tanah Kali Suci di Kecamatan Semanu yang merupakan bagian dari kawasan karst perbukitan seribu yang harus dilindungi.
CIBINONG - Kawasan karst yang berada di luar zona lindung lebih terancam dari kegiatan eksploitasi seperti tambang semen dan marmer.

"Kalau yang berada di kawasan dilindungi sudah jelas terlindungi. Yang tidak terjamin adalah yang di luar kawasan lindung, " kata Amran Achmad, Kepala Laboratorium Sumber Daya Hutan dan Ekowisata, Universitas Hasanuddin.

Amran mencontohkan kasus di kawasan karst Maros Pangkep di Sulawesi. Dari 40.000 hektar kawasan karst yang ada, hanya 20.000 hektar yang masuk zona dilindungi.

"Di luar kawasan, masih ada kawasan karst yang terpecah-pecah dalam beberapa lokasi," papar Amran dalam Lokakarya "Ekosistem Karst Untuk Kelangsungan Hidup Bangsa" di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Cibinong, Kamis (3/5/2012).

Kawasan karst yang berada di luar zona dilindungi bukan berarti kawasan yang minim kekayaan biologi maupun arkeologi.

Amran mengatakan, "Kalau kawasan karst-nya terpecah-pecah, justru biodiversitasnya lebih khas."

Ia juga menambahkan bahwa banyak gua di kawasan karst yang tidak masuk area dilindungi menyimpan kekayaan arkeologis, berupa artefak peninggalan kehidupan di masa lampau.

Saat ini, aktivitas pertambangan semen berlangsung di kawasan karst Maros Pangkep. Pertambangan berlangsung di dekat karst yang punya kekayaan arkeologis sehingga berpotensi menciptakan gangguan bagi ekosistem karst.

Peneliti LIPI yang menggeluti Kala Cemeti, Cahyo Rahmadi, mengatakan bahwa pertambangan, alih fungsi kawasan karst serta aktivitas manusia terbukti mengganggu keseimbangan ekosistem.

"Pada daerah yang tidak terganggu, proporsi jenisnya bagus. Kalau di daerah yang terganggu, ada semut yang jumlahnya sangat meningkat, jomplang. Ini jelas salah," kata Cahyo.

Untuk mendukung pengelolaan kawasan karst yang baik, Amran mengusulkan perlunya pendataan potensi kawasan. Wilayah yang memiliki kekayaan geologis, arkeologis maupun geologis seharusnya dilindungi.

Kawasan karst Maros Pangkep adalah salah satu hotspot karst di dunia, paling kaya biodiversitas.

Rabu, 02 Mei 2012

Gajah Sumatera Ditemukan Tewas
 Ilustrasi: Gajah Sumatera mati.
BANDA ACEH — Konflik antara manusia dan gajah sumatera (Elephas maximus sumatranae) makin kerap terjadi. Satu lagi gajah liar di Kabupaten Aceh Jaya ditemukan mati diracun pada Selasa (1/5/2012) di areal perkebunan kelapa sawit,  Desa Krueng Ayon, Kecamatan Sampoiniet.

Kapala seksi Perlindungan Dinas Perkebunan dan Kehutanan Kabupaten Aceh Jaya Armidi di Calang, Rabu (2/5/2012), mengatakan, gajah yang mati diracun  di perbatasan dengan Krueng Beukah itu berkelamin betina, diperkirakan berusia 18 tahun, usia produktif bagi gajah sumatera.

Gajah betina itu juga diketahui tengah menyusui anak, tetapi tidak diketahui keberadaan anak gajah tersebut. Gajah hanya melahirkan satu anak tiap masa kebuntingan. Masa menyusui anak berlangsung sekitar dua tahun.

Dari anus induk gajah yang tewas keluar usus dan darah. Mulutnya juga mengeluarkan buih serta badannya biru. Gajah tewas begitu saja walaupun sempat ditolong petugas setempat.  Gajah itu disinyalir mati diracun pemilik lahan kelapa sawit.

"Sejak tujuh tahun terakhir gangguan gajah liar di Aceh Jaya sangat tinggi. Kami bersama BKSDA dan Conservation Response Unit Fauna-Flora International terus berupaya mengatasi konflik satwa dengan warga," kata Armidi.

Oleh manusia, gajah-gajah itu selalu dianggap menjadi hama dan pengancam. Gajah sering dianggap sebagai perusak puluhan hektar tanaman pertanian dan perkebunan milik warga, seperti padi, pinang, kelapa, karet, dan pisang.

Selain di kecamatan Sampoiniet, konflik satwa dilindungi itu juga terjadi di Kecamatan Jaya dan beberapa daerah lainnya.

Sementara itu Komandan Ranger CRU Sampoiniet, Mukhtar, mengatakan, gajah sumatera yang mati di tengah lintas badan jalan SP Empat dan SP Lima itu telah dikuburkan.

Kamis, 26 April 2012

Tampil Cantik Tak Harus Bunuh Satwa
Empat wanita asal Malang yang ikut serta melakukan demo yang digelar ProFauna Indonesia di Malang, Jawa Timur Kamis (26/4/2012). Mereka mengkampanyekan wanita bisa tampil cantik tidak harus membunuh satwa liar. 

MALANG - Di tengah maraknya bagian tubuh satwa liar yang dijadikan bahan perhiasan bagi wanita dan juga untuk kerajinan, Profauna Indonesia, menggelar kampanye bertema "Tampil Cantik Tanpa Membunuh Satwa Liar" di Kota Malang, Jawa Timur, Kamis (26/4/2012).
Kampanye yang dimotori ProFauna itu diperagakan oleh empat model cantik asal Malang, di atas trotoar di Jalan Veteran, Kota Malang, sekira pukul 10.30 WIB, dengan membentangkan spanduk bertuliskan "Tampil Cantik Tanpa Membunuh Satwa Liar".
Menurut Rosek Nursahid, Ketua ProFauna Indonesia, kampanye dilakukan tidak hanya di Malang, namun, di beberapa kota besar di Indonesia.
"Tujuannya untuk mengajak masyarakat khususnya kaum wanita agar turut serta membantu pelestarian satwa liar," jelasnya.
Kampanye tersebut menyerukan agar para wanita tidak membeli perhiasan atau kerajinan yang mengandung bagian tubuh satwa.
"Bagian satwa yang sering digunakan untuk kerajinan dan perhiasan adalah sisik penyu," katanya.
Berdasarkan hasil survei ProFauna jelas Rosek, yang marak penjualan perhiasan atau kerajinan yang mengandung sisik penyu adalah di Jakarta, Bali, Yogyakarta, Banyuwangi, dan Pangandaran.
"Kerajinan itu dalam bentuk gelang, kalung, kipas, kotak tempat perhiasan, dan anting-anting," beber Rosek,
Konsumen perhiasan dari bagian tubuh satwa itu adalah wanita. "Sungguh tidak beradab jika ada seorang yang mempercantik dirinya namun dengan membunuh satwa liar. Karena untuk mengambil sisik penyu itu, pasti membunuhnya," katanya.
Padahal, kata Rosek, dalam UU Nomor 5 tahun 1990 tentang konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan ekosistem jelas penyu dilindungi.
"Bagi yang membunuh penyu untuk perhiasan maka diancam hukuman penjara 5 tahun dengan denda Rp 100 juta," tegasnya.
Selain itu, Rosek mengatakan, ProFauna mengajak kaum wanita untuk tidak membeli perhiasan dari bahan bagian tubuh penyu.
"Selain itu, kami juga mengajak kaum wanita untuk tidak membeli satwa liar seperti kukang, burung nuri, elang, primata dan jenis satwa liar lainnya," ajak Rosek.
Kalau kaum wanita yang berjumlah 127 juta jiwa di Indonesia, melestarikan satwa liar, maka akan lebih baik.
"Apalagi wanita punya kedekatan dengan anak atau keluarga sehingga punya peluang besar untuk mendidik anaknya agar turut peduli melestarikan satwa liar yang ada di Indonesia," katanya.

Rabu, 25 April 2012

Kamera Pengintai Macan Tutul Rusak
 Macan tutul


SUKABUMI — Tiga dari enam kamera pengintai macan tutul (Panthera pardus) di kawasan Taman Nasional Gunung Gede Pangrango, Jawa Barat, rusak akibat ulah tangan jahil. Kamera tersebut digunakan untuk memantau keberadaan dan populasi satwa dilindungi itu.
"Pada tahun 2010 terpantau 56 ekor macan tutul di zona inti taman nasional. Mereka terpantau melalui enam kamera pengintai yang tersebar dalam radius 1.000 hingga 2.000 hektar. Saat ini tiga dari enam kamera kami dirusak tangan jahil sehingga mengganggu pemantauan," kata Kepala Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (TNGGP) Agus Wahyudi, Rabu (25/4/2012), di Sukabumi, Jawa Barat.
Agus akan mengusahakan pengadaan sepuluh unit kamera baru yang bakal disebar dalam radius 10.000 hektar. Kamera baru itu akan dipasang di wilayah Lido, Kabupaten Bogor. "Sebagian besar macan tutul yang sudah terekam memang berada di sekitar wilayah perbatasan Kabupaten Sukabumi dan Bogor," ungkapnya.
Agus yakin populasi macan tutul sudah lebih dari 56 ekor. Pasalnya, sejumlah foto yang terekam beberapa waktu terakhir menunjukkan ciri-ciri yang berbeda daripada sebelumnya. Agus menyebutkan, ciri-ciri yang terlihat adalah corak tutul yang lebih besar, dan juga ada yang warna tutulnya lebih pekat.
TNGGP mencakup wilayah Kabupaten Sukabumi, Kabupaten Cianjur, dan Kabupaten Bogor, dengan luas areal mencapai 22.851 hektar. Selain macan tutul, taman ini juga menjadi rumah bagi beberapa satwa dilindungi lainnya, seperti elang jawa (Nisaetus bartelsi), owa jawa (Hylobates moloch), dan surili (Presbytis comata).

Selasa, 24 April 2012

Orangutan Rawa Tripa Terancam Punah Akhir 2012
Orangutan Sumatera (Pongo abelii). 


DEPOK - Ian Singleton, Direktur Konservasi Program Konservasi Orangutan Sumatera mengatakan bahwa orangutan yang ada di Rawa Trip, Aceh, terancam punah dalam waktu dekat.
"Jika aktivitas perusakan seperti konversi lahan terus berlanjut, maka orangutan di Rawa Tripa akan habis akhir tahun 2012," kata Singleton saat ditemui dalam diskusi diadakan Pusat Riset Perubahan Iklim, Universitas Indonesia, Selasa (24/4/2012).
Singleton mengatakan bahwa banyak perusahaan kelapa sawit yang membuka lahan di Tripa sebagai perkebunan. Pembukaan lahan bahkan dilakukan di kawasan konservasi dengan pembakaran.
Pembukaan hutan mengakibatkan orangutan Sumatera (Pongo abelii) di wilayah setempat terganggu. Banyak orangutan mengalami kematian akibat habitat yang dirusak.
Praktek pembunuhan orangutan juga dilakukan. Sebagian dilakukan dengan sadis, seperti menjerat leher orangutan tanpa bius dan melakukan penembakan hingga 62 kali ke satu individu orangutan.
"Populasi orangutan 2 tahun lalu tinggal 300 ekor. Dalam 12 bulan terakhir sudah berkurang 100 ekor. Jadi populasi saat ini diperkirakan 200 ekor," ungkap Singleton.
Menurut Singleton, upaya konsevasi habitat harus dilakukan di wilayah Rawa Tripa untuk menjaga kelestarian orangutan. "Sekarang harus stop konversi," tegas Singleton.
Singleton mengatakan bahwa habitat Rawa Tripa sangat penting bagi orangutan. Kawasan ini merupakan kawasan orangutan Sumatera yang terpadat di dunia. Delapan ekor orangutan dijumpai per km persegi.
"Rawa Tripa adalah ibukota orangutan," terangnya.
Orangutan yang tinggal di Rawa Tripa memiliki kecerdasan tinggi. Mereka mampu menggunakan alat untuk mencari makanan, melubangi sarang lebah untuk mendapatkan madu serta memecahlan buah yang berkulit keras.
"Kita akan sangat kehilangan kalau orangutan ini sampai punah," kata Singleton.

Senin, 23 April 2012

Terumbu Karang Perairan Komodo Terancam
 Terumbu karang di kawasan Tatawa Besar, Pulau Komdo, rusak setelah diledakkan oleh nelayan ilegal. Foto diambil pada 20 Maret 2012.

PULAU KOMODO - Kawasan perairan kaya terumbu karang yang masuk di wilayah Taman Nasional Komodo terancam. Kantor berita AP, Jumat (20/4/2012), melaporkan bahwa  aktivitas nelayan ilegal yang menangkap ikan dengan bahan peledak menghancurkan terumbu karang yang ada.

AP yang memawancarai operator selam dan pegiat lingkungan melaporkan bahwa pemerintah Indonesia tidak melakukan perlindungan yang cukup bagi wilayah yang dikenal dengan kadal raksasa Komodo itu.

Michael Ishak, instruktur scuba dan fotografer bawah laut profesional yang telah berkunjung ke perairan ini ratusan kali mengatakan bahwa jumlah nelayan ilegal pada tahun ini lebih banyak dibanding tahun-tahun sebelumnya.

Ishak yang kembali ke perairan ini bulan lalu menuju tempat favoritnya, Tatawa Besar, menjumpai fakta bahwa terumbu karang seluas 500 meter persegi lenyap. Padahal, wilayah itu menyimpan keragaman hayati yang tinggi. Banyak juga wilayah kecil-kecil lain yang dihancurkan.

"Pertama, saya pikir, ini tak benar. Saya pasti berada di tempat yang salah," kata Ishak yang sampai harus memastikan berkali-kali bahwa ia memang mengamati wilayah yang biasa diselami sebelumnya.

"Tapi ternyata itu benar. Semua koral keras baru saja diledakkan, hancur, berjatuhan. Beberapa diantaranya masih hidup. Saya tak pernah melihat ini sebelumnya," ungkap Ishak seperti dikutip AP, Jumat.

Wilayah perairan yang kaya terumbu karang itu seharusnya dilindungi. Namun, banyak nelayan yang datang untuk berburu ikan seperti kerapu dan kakap. nelayan datang dengan perahu kecil dengan jaring. beberapa lainnya menggunakan "peledak" campuran minyak tanah dan pupuk di botol bir.

Bernafas dengan tabung yang dihubungkan pada kompresor di permukaan, nelayan muda biasanya menyelam ke lautan untuk menyemprotkan sianida, kemudian menyetrum dan menangkap ikan yang ada di terumbu karang.

Jos Pet, ilmuwan perikanan yang berpengalaman bekerjasama dengan pegiat konservasi mengatakan, "Masalah terbesar adalah nelayan bebas menuju Komodo, mengabaikan zonasi dan peraturan tentang pengambilan sumber daya. Mudah mencari ikan di wilayah warisan dunia ini."

Sementara, memberikan tanggapan, Sustyo Iriyono dari Taman nasional Komodo mengatakan bahwa masalah yang ada terlalu dibesar-besarkan. Ia juga menampik klaim longgarnya pengawasan atau penegakan hukum.

Iriyono menuturkan, penjaga sudah menahan 60 nelayan ilegal selama 2 tahun terakhir, termasuk dua nelayan muda yang ditangkap bulan lalu setelah dijumpai menggunakan bom untuk menangkap ikan di wilayah barat perairan.

Salah satu tersangka tertembak dan terbunuh setelah berusaha melarikan diri dengan melempar bom ikan pada penjaga. Sementara, tiga orang lain, termasuk salah satunya remaja usia 13 tahun, mengalami luka ringan.

"Anda lihat. Tak ada yang bisa mengatakan bahwa saya tidak bertidak dalam melawan mereka yang menghancurkan daerah selam ini," kata Iriyono. Menurutnya, kawasan tersebut adalah salah satu area yang terus dimonitor.

Selama dua dekade, The Nature Conservancy telah membantu mengurangi praktek perikanan tak ramah lingkungan. Zona Larang Tangkap ditetapkan sementara daerah pemijahan dan pesisir juga ikut dilindungi.

Tahun 2005, pemerintah memberikan izin pada Putri Naga Komodo, joint venture yang juga didanai oleh TNC dan World bank untuk mengoperasikan fasilitas wisata. Wisata diharapkan membuat taman nasional bisa mandiri dana.

Dengan 30.000 visitor internasional dan lokal, taman nasional bisa mendapatkan budget 1 miliar dollar. Sayangnya, pejabat pemerintah menginginkan dana langsung masuk ke pusat. Persetujuan dihentikan dan izin Putri naga Komodo ditarik.

Operator selam telah meinta TNC dan organisasi lain seperti WWF Indonesia untuk kembali ke Komodo dan membantu upaya konservasi. Namun, Arwandridja Rukma dari TNC menuturkan bahwa pihaknya hanya akan ikut serta dalam proyek jika atas undangan pemerintah.

Minggu, 22 April 2012

Hari Bumi, Aktivis Tuntut Penutupan Pasar Burung
Perdagangan burung kakatua jambul kuning dari Pulau Seram dan Kepulauan Tanimbar, Provinsi Maluku, masih marak. Burung kakatua yang dilindungi undang-undang ini dijual sekitar Rp 500.000 per ekor di pasar burung di Ambon dan Dobo. Pengawasan terhadap perburuan dan perdagangan satwa dilindungi di Maluku masih lemah.

JAKARTA - Aktivis dari berbagai lembaga swadaya masyarakat yang tergabung dalam Liga Anti Perdagangan Satwa (LAPS) menggelar aksi di Monumen Nasional dan Bundaran Hotel Indonesia Jakarta, Minggu (22/4/2012).
Dalam aksi yang dilakukan untuk memperingati Hari Bumi tersebut, aktivis LAPS meminta pemerintah serius menangani perdagangan satwa liar serta menutup pasar burung.
"Memperingati Hari Bumi, kita harus sadar tentang pentingnya pelestarian alam, satwa. Sekarang yang berperan besar dalam kepunahan satwa adalah pasar burung," ungkap Rejeki Marsudiyani dari Animal Friend Yogya.
Yani yang khusus datang dari Yogyakarta bersama rekannya untuk melakukan aksi ini mengungkapkan, berbagai macam satwa liar diperjualbelikan di pasar burung, mulai elang, monyet dan ular.
"Semakin banyak pasar burung, semakin banyak satwa yang diperjualbelikan. Ada banyak pembeli, maka makin banyak juga orang yang cari satwa di hutan untuk dijual," kata Yani saat ditemui di Bundaran HI, hari ini.
Yani menegaskan, "Pasar burung seperti Ngasem kalau di Jogja itu harus ditutup." Dengan cara tersebut, perdagangan satwa liar bisa dikurangi dan kelestarian alam terjaga.
Ia mengakui, penutupan pasar burung memang akan merugikan beberapa pihak, seperti masyarakat yang punya mata pencaharian sebagai penjual satwa. Tapi, kerugian itu dinilai tak sebesar kerugian kehilangan satwa liar.
"Hanya sebagian saja yang kita rugikan. Bumi lebih besar dari yang kita rugikan. Bumi memberi manfaat lebih banyak. Kalau tidak dilakukan, anak cucu kita yang akan rugi," papar Yani.

Jumat, 20 April 2012

Orangutan Korban Jerat Berhasil Diselamatkan
Lengan Orangutan korban jerat dusun Pelansi, Desa Kuala satong, Kabupaten Ketapang, Kalimantan barat 

JAKARTA - Seekor orangutan ditemukan terjerat di kawasan dusun Pelansi, Desa Kuala Satong, Kabupaten Ketapang, Kalimantan Barat pada Jumat (6/4/2012). Orangutan itu berumur 13 -15 tahun dan berjenis kelamin jantan.

Orangutan ditemukan berdasarkan laporan masyarakat pada yayasan IAR Indonesia lewat telepon. Berdasarkan informasi masyarakat, orangutan yang ditemukan sudah terjebak selama 7 - 10 hari. Semula, masyarakat takut untuk melaporkannya.

Berdasarkan laporan Petrus Kanisius dari Yayasan Palung yang diterima Kompas.com, Kamis(18/4/2012), saat ditemukan orangutan dalam kondisi kritis. Lengan sebelah kanan orangutan itu telah membusuk dan nyaris putus karena terlalu lama terjerat.

Orangutan mengalami infeksi saat terjerat. Infeksi telah menyebar ke bagian tubuh akibat septicemia ditandai demam tinggi. Suhu tubuh orangutan mencapai 40 derajat Celsius. Orangutan kini telah diselamatkan dan diberi infus serta antibiotik.

Sayangnya, orangutan terancam kehilangan satu tangannya. Bagian lengan yang telah membusuk harus diamputasi. Amputasi akan dilakukan setelah kondisi orangutan cuiup stabil.

Data Yayasan IAR Indonesia, Yayasan Palung dan Yayasan Flora Fauna Indonesia (FFI) menyebutkan bahwa pada tahun 2010, ada 12 individu yang diselamatkan, 2011 sebanyak 22 individu sera 2012 hingga kini telah ada empat individu.

Untuk menangani masalah orangutan, ketiga LSM tersebut menyebutkan pentingnya mitigasi konflik, survei habitat sebelum penggunaan lahan, kerjasama antar LSM dan perguruan tinggi dan pemahaman bahwa kandang transit orangutan bukan tempat penampuangan orangutan dari perusahaan.

Orangutan kali ini ditemukan di lokasi yang bersebelahan dengan kawasan kebuh kelapa sawit PT. Kayong Agro Lestari (KAL). Sejak tahun 2006, sudah ada lima individu yang ditemukan di kawasan perusahaan tersebut.

Selain itu, 2 individu orangutan juga ditemukan di kawasan PT. Limpah Sejahtera, dua individu dari PT. Harita (pertambangan), 1 individu dari PT. Andes Sawit Lestari, 1 individu dari PT. Gunajaya Ketapang Sentosa.

Rabu, 18 April 2012

Alih Fungsi Hutan Desak Populasi Gajah Kerdil Borneo
JAKARTA- Organisasi konservasi WWF Indonesia dalam penelitiannya sejak tahun 2007 hingga 2011 mengungkap keberadaan gajah borneo (Elephas maximus borneensis) dengan perkiraan populasi sementara pada kisaran  20-80 individu di wilayah utara Kalimantan Timur yang berbatasan langsung dengan Sabah, Malaysia.
Namun, perambahan hutan untuk perkebunan kelapa sawit yang terus terjadi menyebabkan semakin berkurangnya habitat serta wilayah jelajah gajah Borneo.
Hilangnya habitat hutan wilayah jelajah gajah Borneo, membuat satwa yang kerap dijuluki "Borneo pygmy elephant" atau gajah kerdil Borneo tersebut terdesak, sehingga kemudian memicu adanya konflik antara manusia dan gajah.
Data WWF menunjukkan bahwa dari 2005 hingga 2007 tercatat sekitar 16.000 tanaman sawit milik masyarakat dan perusahaan perkebunan rusak dimakan gajah. Dari hasil pemantauan, tahun 2005 hingga 2009 terdapat 11 desa yang rawan konflik gajah. Semua desa-desa tersebut  berada di Kabupaten Nunukan, Kalimantan Timur.
Untuk mengurangi risiko konflik gajah, khususnya di Kecamatan Tulin Onsoi, Kabupaten Nunukan, WWF Indonesia bekerjasama dengan Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Kaltim dan Pemerintah Kabupaten Nunukan membantu memfasilitasi pembentukan anggota Satuan Tugas (satgas) mitigasi konfik gajah yang anggotanya terdiri dari masyarakat setempat. Tugas utama Satgas adalah melakukan pencegahan dan penanggulangan konflik gajah.
"WWF Indonesia mengharapkan adanya dukungan operasional serta pendampingan dari pemerintah dan pihak swasta kepada anggota Satgas gajah tersebut," kata Agus Suyitno, Staff Mitigasi Konflik Gajah WWF Indonesia di Nunukan, Rabu (18/4/2012).
"Pemerintah dan semua pihak terkait diharapkan dapat mempertahankan hutan habitat gajah yang tersisa, agar konflik tidak bertambah besar," tambah Agus.
Selain melakukan kerjasama dengan masyarakat, pemerintah dan LSM, WWF juga bekerjasama dengan perusahaan-perusahaan konsesi yang beroperasi di wilayah habitat gajah untuk pengembangan dan implementasi rencana pengelolaan konservasi gajah, yang terintegrasi dalam pengelolaan konsesi secara berkelanjutan.
Survei WWF-Indonesia tahun 2010 dan 2011 memfokuskan kegiatan di wilayah konsesi hutan alam PT Adimitra Lestari yang dilewati oleh sungai-sungai utama di Kabupaten Nunukan seperti Sungai Agison, Sibuda, Tampilon, Apan, dan merupakan habitat terakhir serta jalur lintasan gajah Borneo di wilayah Indonesia.
Survei bertujuan memantau keberadaan gajah di habitat utamanya, sehingga informasi terbaru mengenai kondisi habitat, populasi dan pergerakannya dapat diketahui.
"Peran serta pihak swasta dalam pengelolaan habitat satwa dilindungi, khususnya di areal konsesi yang dimilikinya, menjadi kunci keberhasilan upaya perlindungan gajah Borneo," ujar Anwar Purwoto, Direktur Program Kehutanan, Spesies dan Air Tawar, WWF-Indonesia.

Kamis, 12 April 2012

Hanya 30 Persen Terumbu Karang dalam Kondisi Baik
Kondisi terumbu karang di sisi timur perairan Pulau Tangah, Kota Pariaman, Sumatera Barat, Minggu (22/1/2012) yang relatif ditutupi sedimen didominasi terumbu karang jenis Montipora sp. dengan bentuk hidup lembaran daun (foliose). Dominannya terumbu karang jenis itu disebabkan kondisi ekstrem perairan yang membuat relatif tidak beragamnya jenis terumbu karang yang bisa hidup. 

MANADO — Kondisi terumbu karang di Indonesia cukup memprihatinkan akibat kerusakan di sejumlah kawasan Indonesia timur dan tengah. Padahal, sebagian terumbu karang di Indonesia yang mencapai 60.000 kilometer persegi berada di kedua wilayah itu.
Hal itu terungkap dalam Workshop Segitiga Terumbu Karang di Manado, Sulawesi Utara, Kamis (12/4/2012). Kegiatan yang dilaksanakan oleh Balai Taman Nasional Bunaken itu diikuti sejumlah pemerhati terumbuh karang dari sejumlah daerah di Indonesia timur.
Ari Rondonuwu dari Fakultas Perikanan dan Kelautan Universitas Sam Ratulangi, yang melansir data Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), menyebutkan, hanya 30 persen terumbu karang dalam kondisi baik, 37 persen dalam kondisi sedang, dan 33 persen rusak parah.
Pemantauan terumbu karang dilakukan di 77 daerah yang tersebar dari Sabang hingga Kepulauan Raja Ampat. "Data ini mencemaskan mengingat posisi Indonesia sebagai pemimpin Coral Triangle Initiative (CTI) dari enam negara yang memiliki terumbu karang," kata Ari. Enam negara anggota CTI adalah Indonesia, Malaysia, Filipina, Papua Niugini, Kepulauan Solomon, dan Timor Leste. Sekretariat CTI berada di Manado.
Sebagian besar terumbu karang dunia, sekitar 55 persen, terdapat di Indonesia, Filipina, dan Kepulauan Pasifik; 30 persen di Lautan Hindia dan Laut Merah; 14 persen di Karibia; dan 1  persen di Atlantik Utara.
Meyti Mondong dari Conservation International Indonesia mengungkapkan, kerusakan terumbu karang dilakukan oleh oknum warga pesisir yang menangkap ikan menggunakan bom dan potasium. Hal itu terlihat di banyak daerah di Indonesia timur.
Ia juga menyebut pesisir dan laut di Raja Ampat menghadapi ancaman dari aktivitas daratan yang kurang memperhatikan ekosistem laut. Sejumlah pembangunan jalan lingkar pulau dan pelabuhan tidak cukup menyediakan jalur hijau sebagai penyangga sedimentasi ke laut.
Menurut Meity, diperlukan solusi menahan laju kerusakan terumbu karang dengan meningkatkan pengawasan di laut serta sosialisasi terus-menerus terhadap warga pesisir akan pentingnya terumbu karang dalam kehidupan manusia.
Fungsi terumbu karang adalah sebagai tempat tinggal serta tempat berkembang biak dan mencari makan ribuan jenis ikan, hewan, dan tumbuhan laut. Terumbu karang juga merupakan pelindung ekosistem pantai karena akan menahan dan memecah energi gelombang sehingga mencegah terjadinya abrasi dan kerusakan di sekitarnya.
Diperkirakan setiap terumbu karang yang sehat dapat menghasilkan 25 ton ikan per tahun. Sekitar 300 juta orang di dunia menggantungkan nafkahnya pada terumbu karang.

Rabu, 11 April 2012

Ke Indonesia Demi Owa
 Aurelien Brule

Kecintaan Aurelien Brule kepada owa tumbuh sejak dia berusia 12 tahun. Pria yang akrab disapa Chanee ini tidak hanya mengobservasi dan menulis buku tentang owa, tetapi juga memutuskan untuk bermukim di Indonesia demi melestarikan owa. 
Pria berusia 32 tahun itu mengaku enggan bermukim kembali di negeri asalnya, Perancis, demi melestarikan owa di Indonesia. Sebelumnya, selama bertahun-tahun sejak berusia 12 tahun, ia kerap mengunjungi kebun binatang di kawasan tempat tinggalnya, Distrik Var, Perancis.
Waktu libur sekolah digunakan Chanee untuk menghimpun berbagai informasi dan mencatat pengamatannya terhadap hewan primata, termasuk owa. Semua hal itu kemudian dibuatnya menjadi buku berjudul Le Gibbon a Mains Blanches (Owa Tangan Putih).
Penerbit pun terkagum-kagum ketika Chanee yang saat itu remaja berusia 16 tahun mengajukan naskah buku tersebut. Catatan itu dikumpulkannya dari observasi di kebun binatang yang dia lakukan sekitar tiga tahun.
Ia bercerita, jarak kebun binatang dengan rumahnya sekitar 30 kilometer. Begitu asyiknya, Chanee bisa menghabiskan delapan jam mengamati aneka satwa sejak kebun binatang itu buka hingga tutup pukul 17.00.
Di kebun binatang itulah kecintaan Chanee terhadap owa mulai tumbuh. Awalnya ia senang mengamati semua primata. Chanee mengenang, ia pertama kali melihat owa secara langsung pada Mei 1992.
”Kenapa senang owa, saya pun tak tahu. Perasaan itu tumbuh dengan sendiri. Tetapi, saya memang terpana saat melihat langsung owa,” ujarnya. Namun, antusiasmenya itu perlahan berubah menjadi rasa iba.
Menurut dia, owa sering kali harus tinggal sendiri. Padahal, owa seharusnya punya pasangan. Oleh karena itulah, hasratnya untuk melihat langsung owa di hutan begitu besar.
Sampai suatu hari aktris Muriel Robin membaca artikel mengenai buku karya Chanee. Robin terkesan dan bersedia menyokong dana agar Chanee bisa bertolak ke Thailand untuk melihat langsung owa di habitat asli. Di Thailand dia mendapatkan nama Chanee, yang artinya owa dalam bahasa Thailand.
”Saya ke Thailand karena urusannya paling gampang. Senang sekali melihat owa hidup di alam. Tiga bulan saya di sana,” ujarnya.
Chanee kemudian mengetahui bahwa jenis owa paling banyak terdapat di Indonesia. Di dunia ada 17 jenis owa dan Indonesia punya tujuh jenis di antaranya.
”Semua jenis owa di dunia terancam punah. Saya lalu memutuskan pergi ke Indonesia,” ujarnya.
Dalam perjalanan ke Indonesia, Chanee membaca berita tentang kebakaran hutan di Indonesia. Niatnya beraktivitas di Indonesia pun kian besar. Ia tiba pada Mei 1998 saat kerusuhan dan isu pergantian pemerintahan menghebat. Namun, tekadnya melestarikan owa menaklukkan kerisauan itu.
Kalaweit
Chanee lalu mendirikan lembaga untuk melestarikan owa. Ia mengajukan izin membentuk yayasan bernama Kalaweit yang berbasis di Kalimantan Tengah. Kalaweit artinya owa dalam bahasa Dayak Ngaju.
Proses mendirikan yayasan memerlukan waktu sekitar sembilan bulan. Pegawai Kementerian Kehutanan pun terheran-heran melihat anak muda yang tak lancar berbahasa Indonesia ini mengurus izin tersebut.
”Bahasa Inggris saja saya belum fasih. Apalagi waktu itu sedang pergantian presiden. Jadi, proses perizinan cukup sulit,” katanya.
Chanee pergi ke berbagai tempat dengan transportasi umum karena keterbatasan dana. Setiap dua bulan dia juga harus bolak-balik ke Singapura untuk memperpanjang visa. Kegigihan itu membuahkan hasil.
”Mungkin karena pegawai Kementerian Kehutanan bosan melihat saya hampir setiap hari, makanya izin diberikan, ha-ha-ha,” ujarnya.
Kini Yayasan Kalaweit mempekerjakan 52 karyawan lokal. Selain owa, mereka juga tak menolak satwa lain, seperti kera, piton, kukang, buaya, bekantan, dan beruang madu.
Kalaweit melakukan tiga aktivitas. Pertama, satwa yang dipelihara warga diusahakan kembali ke alam. Kedua, pelestarian habitat owa dengan mendirikan tempat perlindungan owa seluas 8 hektar di Kabupaten Barito Utara, Kalimantan Tengah.
”Kami juga membantu apa pun yang bisa dikerjakan untuk menjaga Cagar Alam Pararawen seluas 5.300 hektar di Barito Utara,” katanya.
Ketiga, petugas Kalaweit berusaha mendekati pemilik satwa untuk melepaskan peliharaannya. Petugas mengimbau agar satwa liar tak ditangkap. Jika sedang berpatroli dan menemukan jerat, mereka menghancurkannya.
Selain itu, Kalaweit yang bekerja sama dengan Pemerintah Kota Palangkaraya sejak tahun 2007 juga berupaya melestarikan kawasan konservasi Hampapak seluas 700 hektar.
Tempat perlindungan owa juga dibuat di Kabupaten Solok, Sumatera Barat, sembilan tahun lalu. Ini membuat program Kalaweit menjadi pelestarian owa terbesar di dunia. Total 250 owa hidup di tempat perlindungan di Kalimantan Tengah dan Sumatera Barat.
Radio dan internet
Tahun 2003 Chanee melakukan sosialisasi dengan mendirikan Radio Kalaweit berfrekuensi FM 99,1 di Palangkaraya. Ia juga berbagi informasi mengenai owa dan kegiatan yayasan lewat situs internet beralamat www.kalaweit.org.
”Siaran radio kami tak melulu soal owa karena tak ada lagu bisa membuat radio ini tidak ada pendengarnya. Siaran kami mengutamakan hiburan, dengan menyisipkan pesan menyayangi satwa,” katanya.
Pengaruh radio ternyata besar. Sebagian besar satwa yang diserahkan kepada Yayasan Kalaweit di Jalan Pinus, Palangkaraya, berasal dari pendengar.
Chanee mengakui tugasnya tak ringan. Aktivitasnya membuat waktu yang tersisa untuk keluarga terbatas. Apalagi aktivitas dan siaran Chanee demi mempertahankan kelestarian alam menimbulkan ketidaksukaan beberapa pihak yang merasa terganggu.
”Ancaman saya terima lewat surat, telepon, sampai bertemu pelaku. Pernah ada orang datang ke kantor dengan membawa pisau,” ujarnya.
Namun, iming-iming imbalan agar kegiatan pelestarian itu dihentikan hingga ancaman pembunuhan tak menyurutkan niat Chanee melestarikan owa.
Keinginan lainnya yang belum terpenuhi adalah menjadi warga negara Indonesia. ”Saya juga ingin menjadi warga Indonesia. Sudah empat tahun saya mengurusnya, tetapi belum berhasil, cukup susah,” katanya.

Jumat, 30 Maret 2012

Murah Atau Mahal, Energi Harus Dihemat
ILUSTRASI
JAKARTA - Kampanye Earth Hour di Indonesia akan memuncak Sabtu (31/3/2012). Istimewanya, perayaan kali ini berbarengan dengan rencana kenaikan harga BBM dan demonstrasi penolakannya.

Nyoman Iswarayoga, Direktur Program Energi dan Iklim WWF Indonesia, mengatakan bahwa dua momen tersebut harus menjadi kesempatan bagi masyarakat untuk berpikir tentang penghematan energi.

"Murah ataupun mahal, energi tetap harus dihemat. Efisiensi energi itu harga mati," tegasnya saat dihubungi Kompas.com, Jumat (30/3/2012).

Menurut Nyoman, penghematan energi tidak berkaitan dengan harga. Jika energi murah, tak berarti masyarakt bisa boros. Penghematan energi perlu dilakukan sebab sumber dayanya memang terbatas.

Dalam upaya penghematan energi, peran individu dan rumah tangga sangat penting, selain sektor industri. Karenanya, setelah perayaan Earth Hour, individu berperan dalam melanjutkan sebagai gaya hidup.

Earth Hour di Indonesia tahun ini dirayakan untuk keempat kalinya. Sejumlah 26 kota terlibat perayaan ini. Masyarakat diminta mematikan lampu dan alat listrik yang tak diperlukan pukul 20.30-21.30 WIB.

Bentuk penghematan energi yang bisa dijadikan gaya hidup individu antara lain menggunakan alat listrik seperlunya, memakai angkutan umum dan bersepeda ataupun berajalan jika jarak dekat.

Pemerintah sendiri punya PR terkait transportasi untuk mendukung hemat energi. "Pemerintah harus mewujudkan transportasi publik yang aman dan nyaman," ungkap Nyoman.

Selasa, 27 Maret 2012

Inilah Area Terbesar untuk Pelepasliaran Orangutan
Bayi orang utan Kalimantan (pongo pygmaeus pygmaeus) yang baru berumur 1,5 bulan berada dalam gendongan induknya, Dina (14 tahun) di dalam kandang penangakaran Taman Safari Indonesia (TSI) II Prigen, Kabupaten Pasuruan, Jawa Timur, Senin (13/12/2010). Kelahiran bayi satwa endemik asli Indonesia berjenis kelamin betina tersebut menambah populasi orang utan di TSI menjadi 24 ekor.

JAKARTA PT Kayung Agro Lestari (KAL), anak usaha PT Austindo Nusantara Jaya Agri (ANJ Agri), akan menyerahkan lahannya sekitar 3.400 hektar di Kabupaten Ketapang, Kalimantan Barat (Kalbar), untuk dijadikan kawasan konservasi.
Kawasan konservasi ini direncanakan untuk menampung pelepasliaran 40 orangutan oleh Balai Konservasi Sumber Daya Alam Kalbar (BKSDA Kalbar), yang sejauh ini merupakan area terbesar bagi pelepasliaran orangutan di Indonesia.
Dalam siaran pers yang diterima, Selasa (27/3) di Jakarta, Direktur Public Affairs ANJ Agri Sucipto mengatakan, berdasarkan pemantauan BKSDA Kalbar dan studi yang dilakukan oleh Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada pada akhir 2011, pada wilayah hutan produksi konversi (HPK) seluas 17.987 hektar, yang telah dicadangkan untuk pembangunan perkebunan kelapa sawit PT KAL di Kabupaten Ketapang, Kalbar, terdapat wilayah yang bisa dijadikan hutan bernilai konservasi tinggi (high conservation value atau HCV).
Menurut penelitian Universitas Gadjah Mada (UGM), distribusi orangutan merata di seluruh kawasan seluas lebih dari 3.400 hektar itu, yaitu rata-rata tiga individu per kilometer. Selain orangutan, berdasarkan hasil penelitian dari UGM, di area PT KAL yang akan menjadi kawasan konservasi tersebut terdapat lebih kurang 30 jenis satwa liar, termasuk beruang madu, rusa sambar, kucing kuwuk, lutung dahi putih, dan berbagai spesies burung.

Kamis, 22 Maret 2012

Tomcat Tidak Menyerang Manusia
 Serangga Tomcat yang memproduksi racun paederin, menyebabkan dermatitis.
BOGOR, — Munculnya kumbang tomcat di perumahan warga Surabaya karena habitatnya yang mulai terusik akibat pembangunan.
"Saya belum mengetahui pasti posisi lokasi apartemen tersebut apakah berada di sekitar persawahan atau bukan. Tapi yang pasti, kenapa banyak terdapat di sana bisa jadi wilayah itu merupakan habitatnya," kata pakar serangga dari Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor (IPB), Prof Aunu Rauf MSc, di Bogor, Rabu (21/3/2012).
Aunu mengatakan, perlu dilakukan pengecekan langsung lokasi perumahan warga yang mengalami serangan tomcat tersebut untuk memastikan apakah ledakan populasi dipicu oleh keberadaan permukiman di kawasan habitat hewan tersebut.
Menurut Aunu, ada beberapa kemungkinan yang bisa menjelaskan terjadinya ledakan (outbreak) kumbang tomcat ini, di antaranya terjadi peningkatan populasi kumbang tomcat menjelang berakhirnya musim hujan (sebelumnya masih dalam stadia larva dan pupa). Pada saat yang bersamaan terjadi kegiatan panen sehingga kumbang tomcat beterbangan dan bergerak menuju ke tempat datangnya sumber cahaya di permukiman.
"Pada malam hari kumbang Paederus fuscipes aktif terbang dan tertarik pada cahaya lampu. Inilah sebetulnya yang sekarang terjadi di kompleks apartemen di Surabaya," katanya.
Ia menjelaskan, binatang yang disebut tomcat ini sebetulnya adalah hewan sejenis kumbang dengan nama ilmiah Paederus fuscipes. Kumbang Paederus fuscipes berkembang biak di dalam tanah di tempat-tempat yang lembab, seperti di galengan sawah, tepi sungai, daerah berawa, dan hutan.
Telurnya diletakkan di dalam tanah, begitu pula larva dan pupanya hidup dalam tanah. Setelah dewasa barulah serangga ini keluar dari dalam tanah dan hidup pada tajuk tanaman.
Siklus hidup kumbang dari sejak telur diletakkan hingga menjadi kumbang dewasa sekitar 18 hari, dengan perincian stadium telur 4 hari, larva 9 hari, dan pupa 5 hari. Kumbang dapat hidup hingga 3 bulan. Seekor kumbang betina dapat meletakkan telur sebanyak 100 butir telur.
"Bisa jadi permukiman dibangun di wilayah tempat perkembangbiakan kumbang tomcat, misalnya di dekat persawahan atau di pinggiran dekat hutan yang lembab atau tempat berawa. Pada kondisi ini kumbang pada malam hari akan berdatangan ke perumahan karena tertarik cahaya lampu," katanya.
Lebih lanjut, Aunu mengatakan, masyarakat tidak perlu terlalu khawatir dengan ledakan populasi tomcat ini karena kumbang tomcat tidak menggigit atau menyengat.
Tetapi, kumbang tomcat kalau terganggu atau secara tidak sengaja terpijit akan mengeluarkan cairan yang bila kena kulit akan menyebabkan gejala memerah dan melepuh seperti terbakar (dermatitis). Gejala ini muncul akibat cairan tubuh kumbang tadi mengandung zat yang disebut pederin yang bersifat racun.
Aunu mengatakan, ada yang menyebutkan bahwa pederin ini 15 kali lebih beracun daripada bisa kobra. Belakangan ini diketahui bahwa produksi pederin dalam tubuh kumbang tergantung pada keberadaan bakteri Pseudomonas sp. yang bersimbiosis dalam tubuh kumbang betina.
Pederin bersirkulasi dalam darah kumbang sehingga dapat terbawa sampai ke keturunannya (telur, larva, pupa, dan kumbang). Namun demikian, kumbang betina yang mengandung bakteri akan menghasilkan pederin yang lebih banyak dibandingkan kumbang yang dalam tubuhnya tidak ada bakteri simbion.
Aunu mengatakan, kumbang ini jangan dimusnahkan karena bermanfaat bagi petani. Penyemprotan di rumah juga tidak perlu dilakukan karena lebih berisiko terhadap kesehatan penghuninya.
Untuk menghindari serangannya, dengan cara halaulah kumbang ini agar menjauh dari rumah dengan mematikan lampu, atau memungutnya secara hati-hati dengan kantong kertas dan lepaskan ke habitatnya (sawah atau tempat lembab lainnya).
Masyarakat juga tidak perlu khawatir dengan kejadian tersebut karena outbreak kumbang tomcat seperti terjadi di Surabaya pernah pula dilaporkan terjadi di negara lain, seperti di Okinawa-Jepang (1966), Iran (2001), Sri Lanka (2002), Pulau Pinang Malaysia (2004 dan 2007), India Selatan (2007), dan Irak (2008).
"Memang sesekali kumbang datang ke permukiman karena tertarik cahaya lampu, dan mengganggu kenyamanan penghuninya. Namun demikian, jangan sampai 'pengabdian setiap hari' kepada petani oleh kumbang ini terhapus oleh perilakunya datang ke permukiman yang hanya sesekali terjadi," ujarnya.

Senin, 19 Maret 2012

AMAN Minta Peninjauan UU No 14/1999 tentang Kehutanan
 
Kepala Desa Muara Tae Masrani Teran berjalan di lokasi hutan adat yang telah dibabat di Kecamatan Jempang, Kabupaten Kutai Barat, Kalimantan Timur, Senin (23/1) sore. Sebagian lahan adat yang luasnya mencapai 638 hektar itu diserobot oleh salah satu perusahaan sawit. Kondisi ini mengakibatkan warga Muara Tae kehilangan mata pencarian. 

JAKARTA - Sekretaris Jenderal Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), Abdon Nababan, bersama-sama dengan dua komunitas masyarakat adat anggota AMAN, mendaftarkan pengujian UU Nomor 41/1999 tentang Kehutanan ke Mahkamah Konstitusi, di Jakarta, Senin (19/3/2012).

"Permohonan ini diajukan karena selama lebih dari 10 tahun berlakunya, UU Kehutanan telah terbukti sebagai alat negara untuk mengambilalih wilayah-wilayah adat untuk dijadikan sebagai hutan negara. Pengusiran biasanya disertai dengan tindakan kekerasan oleh aparat keamanan," kata Nababan, saat tiba gedung Mahkamah Konstitusi.

Dia datang bersama dua komunitas anggota AMAN, yaitu Kasepuhan Cisitu dan Kenegerian Kuntu. Rombongan AMAN yang datang mendaftarkan peninjauan produk hukum formal itu berjumlah lebih dari 50 orang dan mengenakan atribut dan pakaian adat masing-masing.

AMAN berpandangan, UU Kehutanan telah menyebabkan ketidakpastian hak bagi masyarakat adat atas wilayah adatnya. Hal ini akhirnya melahirkan kemiskinan bagi masyarakat adat itu sendiri.

"Padahal, hak masyarakat adat atas wilayah adat merupakan hak yang bersifat turun-temurun. Hak ini bukanlah hak yang diberikan negara kepada masyarakat adat melainkan hak bawaan, yaitu hak yang lahir dari proses mereka membangun peradaban di wilayah adatnya," kata Nababan.

Tinjauan kembali atas UU Kehutanan harus dilakukan, karena menurut AMAN, UU itu bertentangan dengan tujuan pembentukan NKRI sebagaimana termuat dalam paragraf keempat Pembukaan UUD 1945.

Secara khusus, UU Kehutanan bertentangan dengan tujuan pengakuan terhadap masyarakat adat sebagaimana termuat dalam pasal 18B ayat (2) UUD 1945. Pengakuan terhadap masyarakat adat dalam UUD 1945 merupakan pengakuan terhadap kenyataan sosial, dalam NKRI terdapat kelompok masyarakat yang memiliki susunan asli, dan segala peraturan perundang-undangan harus mengingat hak asal-usul pada kelompok masyarakat seperti itu.

Artinya, pengakuan tersebut adalah pengakuan atas keseluruhan dari tiga aspek pada masyarakat adat, yaitu aspek manusia sebagai individu dan kelompok, pengakuan atas wilayah adat dan sumber daya alam termasuk hutan, serta pengakuan atas tata aturan masyarakat tersebut.

Kamis, 15 Maret 2012

Konservasi Lahan Basah Penting bagi Burung Air
ILUSTRASI
JAKARTA - Lahan basah di Indonesia terus menyusut akibat penggunaannya sebagai area pertanian, pemukiman, dan tambak. Ini sangat disayangkan sebab lahan basah memiliki fungsi ekologis.
Dwi Mulyawati, Bird Conservation Officer Burung Indonesia, kepada Kompas.com, Kamis (15/3/2012), mengatakan, "Lahan basah merupakan habitat penting bagi keperluan hidup burung-burung air penetap maupun pengembara."
Habitat lahan basah seperti mangrove penting bagi burung jenis Cangak (Ardea sp.), bangau (Ciconidae), atau pecuk (Phalacrocoracidae). Area ini memberi burung rasa aman dari pemanga.
Wilayah mangrove juga penting bagi kuntul (Egretta sp.) untuk tempat bertengger dan mencari makan serta bagi terutama Charadriidae dan Scolopacidae sebagai tempat beristirahat.
Lahan basah yang penting bagi burung penetap misalnya area hutan rawa air tawar dan gambut. Mentok rimba (Cairina scutulata) dan Bangau storm (Ciconia stormi) memanfaatkan sebagai tempat mencari makan dan berkembangbiak.
Sementara itu, hutan rawa rumput disukai burung dari keluarga keluarga Ardeidae, Anatidae, Rallidae, dan Jacanidae. Di daerah Tulang Bawang, Lampung, tercatat ribuan ekor Blekok sawah (Ardeola speciosa), Cangak merah (Ardea purpurea), Kuntul besar (Casmerodius albus), dan Kowak-malam abu (Nycticorax nycticorax) berkoloni sarang pada rimbunan rumput gelagah.
Saat ini, 49 daerah penting bagi burung di Indonesia yang berpotensi sebagai tempat persinggahan burung telah diidentifikasi. Wilayah itu mampu mendukung 20.000 burung air atau 10.000 burung laut. Salah satu wilayah penting adalah Semenanjung Sembilang dan Banyuasin di pantai timur Sumatera. Wilayah ini menjadi persinggahan burung yang mengembara dari Asia Timur ke Australia.
Menurut Dwi, beragamnya burung yang memanfaatkan lahan basah seharusnya menjadi dorongan untuk melestarikan kawasan ini. Ke depan, pelestariannya tak hanya berfungsi untuk konservasi, tetapi juga bisa menyokong kebutuhan manusia akan makanan, bahan baku industri dan obat.