Senin, 19 Maret 2012

AMAN Minta Peninjauan UU No 14/1999 tentang Kehutanan
 
Kepala Desa Muara Tae Masrani Teran berjalan di lokasi hutan adat yang telah dibabat di Kecamatan Jempang, Kabupaten Kutai Barat, Kalimantan Timur, Senin (23/1) sore. Sebagian lahan adat yang luasnya mencapai 638 hektar itu diserobot oleh salah satu perusahaan sawit. Kondisi ini mengakibatkan warga Muara Tae kehilangan mata pencarian. 

JAKARTA - Sekretaris Jenderal Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), Abdon Nababan, bersama-sama dengan dua komunitas masyarakat adat anggota AMAN, mendaftarkan pengujian UU Nomor 41/1999 tentang Kehutanan ke Mahkamah Konstitusi, di Jakarta, Senin (19/3/2012).

"Permohonan ini diajukan karena selama lebih dari 10 tahun berlakunya, UU Kehutanan telah terbukti sebagai alat negara untuk mengambilalih wilayah-wilayah adat untuk dijadikan sebagai hutan negara. Pengusiran biasanya disertai dengan tindakan kekerasan oleh aparat keamanan," kata Nababan, saat tiba gedung Mahkamah Konstitusi.

Dia datang bersama dua komunitas anggota AMAN, yaitu Kasepuhan Cisitu dan Kenegerian Kuntu. Rombongan AMAN yang datang mendaftarkan peninjauan produk hukum formal itu berjumlah lebih dari 50 orang dan mengenakan atribut dan pakaian adat masing-masing.

AMAN berpandangan, UU Kehutanan telah menyebabkan ketidakpastian hak bagi masyarakat adat atas wilayah adatnya. Hal ini akhirnya melahirkan kemiskinan bagi masyarakat adat itu sendiri.

"Padahal, hak masyarakat adat atas wilayah adat merupakan hak yang bersifat turun-temurun. Hak ini bukanlah hak yang diberikan negara kepada masyarakat adat melainkan hak bawaan, yaitu hak yang lahir dari proses mereka membangun peradaban di wilayah adatnya," kata Nababan.

Tinjauan kembali atas UU Kehutanan harus dilakukan, karena menurut AMAN, UU itu bertentangan dengan tujuan pembentukan NKRI sebagaimana termuat dalam paragraf keempat Pembukaan UUD 1945.

Secara khusus, UU Kehutanan bertentangan dengan tujuan pengakuan terhadap masyarakat adat sebagaimana termuat dalam pasal 18B ayat (2) UUD 1945. Pengakuan terhadap masyarakat adat dalam UUD 1945 merupakan pengakuan terhadap kenyataan sosial, dalam NKRI terdapat kelompok masyarakat yang memiliki susunan asli, dan segala peraturan perundang-undangan harus mengingat hak asal-usul pada kelompok masyarakat seperti itu.

Artinya, pengakuan tersebut adalah pengakuan atas keseluruhan dari tiga aspek pada masyarakat adat, yaitu aspek manusia sebagai individu dan kelompok, pengakuan atas wilayah adat dan sumber daya alam termasuk hutan, serta pengakuan atas tata aturan masyarakat tersebut.