Aurelien Brule
Kecintaan Aurelien Brule kepada owa tumbuh sejak dia berusia 12
tahun. Pria yang akrab disapa Chanee ini tidak hanya mengobservasi dan
menulis buku tentang owa, tetapi juga memutuskan untuk bermukim di
Indonesia demi melestarikan owa.
Pria berusia 32 tahun itu
mengaku enggan bermukim kembali di negeri asalnya, Perancis, demi
melestarikan owa di Indonesia. Sebelumnya, selama bertahun-tahun sejak
berusia 12 tahun, ia kerap mengunjungi kebun binatang di kawasan
tempat tinggalnya, Distrik Var, Perancis.
Waktu libur sekolah
digunakan Chanee untuk menghimpun berbagai informasi dan mencatat
pengamatannya terhadap hewan primata, termasuk owa. Semua hal itu
kemudian dibuatnya menjadi buku berjudul
Le Gibbon a Mains Blanches (
Owa Tangan Putih).
Penerbit
pun terkagum-kagum ketika Chanee yang saat itu remaja berusia 16
tahun mengajukan naskah buku tersebut. Catatan itu dikumpulkannya dari
observasi di kebun binatang yang dia lakukan sekitar tiga tahun.
Ia
bercerita, jarak kebun binatang dengan rumahnya sekitar 30
kilometer. Begitu asyiknya, Chanee bisa menghabiskan delapan jam
mengamati aneka satwa sejak kebun binatang itu buka hingga tutup pukul
17.00.
Di kebun binatang itulah kecintaan Chanee terhadap owa
mulai tumbuh. Awalnya ia senang mengamati semua primata. Chanee
mengenang, ia pertama kali melihat owa secara langsung pada Mei 1992.
”Kenapa
senang owa, saya pun tak tahu. Perasaan itu tumbuh dengan sendiri.
Tetapi, saya memang terpana saat melihat langsung owa,” ujarnya.
Namun, antusiasmenya itu perlahan berubah menjadi rasa iba.
Menurut
dia, owa sering kali harus tinggal sendiri. Padahal, owa seharusnya
punya pasangan. Oleh karena itulah, hasratnya untuk melihat langsung
owa di hutan begitu besar.
Sampai suatu hari aktris Muriel
Robin membaca artikel mengenai buku karya Chanee. Robin terkesan dan
bersedia menyokong dana agar Chanee bisa bertolak ke Thailand untuk
melihat langsung owa di habitat asli. Di Thailand dia mendapatkan nama
Chanee, yang artinya owa dalam bahasa Thailand.
”Saya ke Thailand karena urusannya paling gampang. Senang sekali melihat owa hidup di alam. Tiga bulan saya di sana,” ujarnya.
Chanee
kemudian mengetahui bahwa jenis owa paling banyak terdapat di
Indonesia. Di dunia ada 17 jenis owa dan Indonesia punya tujuh jenis
di antaranya.
”Semua jenis owa di dunia terancam punah. Saya lalu memutuskan pergi ke Indonesia,” ujarnya.
Dalam
perjalanan ke Indonesia, Chanee membaca berita tentang kebakaran
hutan di Indonesia. Niatnya beraktivitas di Indonesia pun kian besar.
Ia tiba pada Mei 1998 saat kerusuhan dan isu pergantian pemerintahan
menghebat. Namun, tekadnya melestarikan owa menaklukkan kerisauan itu.
Kalaweit
Chanee
lalu mendirikan lembaga untuk melestarikan owa. Ia mengajukan izin
membentuk yayasan bernama Kalaweit yang berbasis di Kalimantan Tengah.
Kalaweit artinya owa dalam bahasa Dayak Ngaju.
Proses mendirikan
yayasan memerlukan waktu sekitar sembilan bulan. Pegawai Kementerian
Kehutanan pun terheran-heran melihat anak muda yang tak lancar
berbahasa Indonesia ini mengurus izin tersebut.
”Bahasa Inggris
saja saya belum fasih. Apalagi waktu itu sedang pergantian presiden.
Jadi, proses perizinan cukup sulit,” katanya.
Chanee pergi ke
berbagai tempat dengan transportasi umum karena keterbatasan dana.
Setiap dua bulan dia juga harus bolak-balik ke Singapura untuk
memperpanjang visa. Kegigihan itu membuahkan hasil.
”Mungkin
karena pegawai Kementerian Kehutanan bosan melihat saya hampir setiap
hari, makanya izin diberikan, ha-ha-ha,” ujarnya.
Kini Yayasan
Kalaweit mempekerjakan 52 karyawan lokal. Selain owa, mereka juga tak
menolak satwa lain, seperti kera, piton, kukang, buaya, bekantan, dan
beruang madu.
Kalaweit melakukan tiga aktivitas. Pertama, satwa
yang dipelihara warga diusahakan kembali ke alam. Kedua, pelestarian
habitat owa dengan mendirikan tempat perlindungan owa seluas 8 hektar
di Kabupaten Barito Utara, Kalimantan Tengah.
”Kami juga membantu
apa pun yang bisa dikerjakan untuk menjaga Cagar Alam Pararawen seluas
5.300 hektar di Barito Utara,” katanya.
Ketiga, petugas
Kalaweit berusaha mendekati pemilik satwa untuk melepaskan
peliharaannya. Petugas mengimbau agar satwa liar tak ditangkap. Jika
sedang berpatroli dan menemukan jerat, mereka menghancurkannya.
Selain
itu, Kalaweit yang bekerja sama dengan Pemerintah Kota Palangkaraya
sejak tahun 2007 juga berupaya melestarikan kawasan konservasi Hampapak
seluas 700 hektar.
Tempat perlindungan owa juga dibuat di
Kabupaten Solok, Sumatera Barat, sembilan tahun lalu. Ini membuat
program Kalaweit menjadi pelestarian owa terbesar di dunia. Total 250
owa hidup di tempat perlindungan di Kalimantan Tengah dan Sumatera
Barat.
Radio dan internet
Tahun 2003
Chanee melakukan sosialisasi dengan mendirikan Radio Kalaweit
berfrekuensi FM 99,1 di Palangkaraya. Ia juga berbagi informasi mengenai
owa dan kegiatan yayasan lewat situs internet beralamat
www.kalaweit.org.
”Siaran radio kami tak melulu soal owa karena
tak ada lagu bisa membuat radio ini tidak ada pendengarnya. Siaran kami
mengutamakan hiburan, dengan menyisipkan pesan menyayangi satwa,”
katanya.
Pengaruh radio ternyata besar. Sebagian besar satwa
yang diserahkan kepada Yayasan Kalaweit di Jalan Pinus, Palangkaraya,
berasal dari pendengar.
Chanee mengakui tugasnya tak ringan.
Aktivitasnya membuat waktu yang tersisa untuk keluarga terbatas. Apalagi
aktivitas dan siaran Chanee demi mempertahankan kelestarian alam
menimbulkan ketidaksukaan beberapa pihak yang merasa terganggu.
”Ancaman
saya terima lewat surat, telepon, sampai bertemu pelaku. Pernah ada
orang datang ke kantor dengan membawa pisau,” ujarnya.
Namun,
iming-iming imbalan agar kegiatan pelestarian itu dihentikan hingga
ancaman pembunuhan tak menyurutkan niat Chanee melestarikan owa.
Keinginan
lainnya yang belum terpenuhi adalah menjadi warga negara Indonesia.
”Saya juga ingin menjadi warga Indonesia. Sudah empat tahun saya
mengurusnya, tetapi belum berhasil, cukup susah,” katanya.